Refleksi Ilmiah atas Evolusi Pengetahuan di Era Disrupsi
Oleh:Sofian
Di tengah perubahan sosial yang semakin cepat, merek hadir bukan hanya sebagai identitas komersial, tetapi sebagai medan pertempuran makna. Arus teknologi digital, kecerdasan buatan, dan budaya jaringan telah melahirkan lanskap baru di mana konsumen tidak lagi diperlakukan sebagai penerima pesan pasif, melainkan sebagai agen yang menginterpretasi, memodifikasi, dan bahkan ikut menciptakan narasi merek. Realitas baru ini menuntut pendekatan akademik yang lebih kaya dan lebih lentur. Dalam konteks itu, buku Brand Management: Research, Theory and Practice menjadi salah satu rujukan penting karena ia tidak hanya membahas merek dari satu perspektif, tetapi memperkenalkan tujuh pendekatan yang kesemuanya bersifat multidimensi. Pendekatan itu bukan hanya menawarkan teori, tetapi juga cara berpikir baru—sebuah epistemologi tentang bagaimana kita memahami fenomena sosial yang bernama merek.
Di era ketika batas antara budaya konsumsi dan budaya digital semakin kabur, memahami merek bukan lagi sekadar memahami strategi pemasaran. Ia adalah upaya memahami bagaimana manusia menciptakan makna, bagaimana masyarakat membentuk identitas, dan bagaimana organisasi merespons ketidakpastian. Dengan kata lain, merek telah menjadi bagian dari studi tentang peradaban. Karena itu, refleksi akademik yang dihadirkan buku ini menawarkan lebih dari sekadar kerangka manajerial: ia menjadi sebuah ajakan untuk membaca zaman melalui lensa merek.
Salah satu pelajaran utama dari buku ini adalah bahwa merek tidak dapat dipahami melalui satu sudut pandang. Setiap pendekatan yang ditawarkan—ekonomi, identitas, konsumen, kepribadian, relasional, komunitas, dan kultural—mewakili lapisan realitas yang berbeda. Perspektif ekonomi melihat merek sebagai aset; perspektif identitas melihatnya sebagai simbol; perspektif konsumen memahaminya sebagai asosiasi mental. Perbedaan ini tidak menunjukkan pertentangan, tetapi memperlihatkan bahwa fenomena merek bersifat emergent: ia muncul dari interaksi antara manusia, pasar, organisasi, dan budaya.
Dalam ilmu pengetahuan, fenomena yang memiliki banyak sudut pandang biasanya menandakan bahwa fenomena tersebut tidak sederhana. Ia bukan entitas mekanis yang bisa dipahami hanya melalui satu disiplin. Merek adalah fenomena interdisipliner. Karena itu, memahami merek menuntut kemampuan untuk menggabungkan perspektif ekonomi, psikologi, sosiologi, antropologi, dan budaya. Di sinilah nilai akademik buku ini: ia mendorong kita meninggalkan reduksionisme, dan mengakui bahwa kebenaran tentang merek bersifat relatif tergantung kerangka teoretik yang digunakan.
Setiap pendekatan dalam buku ini tidak berdiri di ruang hampa. Ia berakar pada asumsi ontologis dan paradigma epistemologis tertentu. Pendekatan ekonomi misalnya didasarkan pada asumsi rasionalitas pasar; pendekatan konsumen berakar pada teori representasi mental; pendekatan komunitas berangkat dari konstruksi teori identitas sosial. Dalam ilmu pengetahuan, setiap asumsi itu membawa implikasi besar terhadap bagaimana kita melihat realitas.
Dengan demikian, buku ini mengingatkan kita bahwa ilmu manajemen tidak pernah netral. Ia dibangun di atas asumsi-asumsi tertentu, baik tentang manusia maupun masyarakat. Menyadari asumsi ini penting terutama bagi akademisi, sebab keputusan yang terlihat “praktis” seringkali merupakan hasil logis dari kerangka berpikir (paradigma) tertentu. Di sinilah keunggulan analitis buku ini: ia membantu pembaca memahami bahwa setiap strategi merek berakar pada cara kita mendefinisikan konsep “merek” itu sendiri.
4. Pendekatan Ekonomi: Rasionalitas dalam Dunia yang Tidak Lagi Rasional
Pendekatan ekonomi dapat dikatakan paling tradisional. Ia melihat merek sebagai aset yang dapat dihitung, dimaksimalkan, dan dicatat dalam neraca. Namun refleksi akademiknya lebih dalam: perspektif ekonomi mengingatkan bahwa organisasi tetap membutuhkan struktur, ukuran, dan mekanisme pengelolaan aset. Di tengah euforia narasi emosional dan cerita merek, perspektif ekonomi menjaga disiplin bahwa merek tetap harus memberikan nilai finansial.
Namun tantangan bagi perspektif ini adalah dunia yang semakin tidak stabil. Rasionalitas ekonomi bergeser menjadi rasionalitas perilaku. Nilai sebuah merek tidak lagi sepenuhnya dapat dihitung melalui rumus, tetapi juga melalui jaringan persepsi yang sulit diprediksi. Analisis ekonomi tetap penting, tetapi ia tidak lagi mencukupi. Di sinilah muncul kebutuhan untuk menggabungkan pendekatan ekonomi dengan pendekatan lain.
5. Pendekatan Identitas: Konsistensi sebagai Landasan Kepercayaan
Dalam perspektif identitas, merek dipahami sebagai sistem simbolik yang harus menjaga konsistensi antara visi internal dan persepsi eksternal. Teori ini banyak dipengaruhi oleh pendekatan semiotika dan komunikasi organisasi. Pada tingkat akademik, konsistensi identitas mencerminkan prinsip dasar teori organisasi klasik: keselarasan antara nilai, struktur, dan perilaku.
Di tengah era keterbukaan digital, konsistensi menjadi semakin penting karena ketidaksesuaian sekecil apa pun dapat menjadi viral. Identitas merek bukan lagi apa yang dikatakan perusahaan, melainkan apa yang ditangkap dan ditafsirkan publik. Pendekatan identitas mengajarkan bahwa keotentikan bukan hanya nilai etis, tetapi juga nilai strategis.
Pendekatan konsumen menempatkan merek sebagai konstruksi mental. Ia dibangun melalui pengalaman, asosiasi, emosi, dan persepsi. Teori ini banyak dipengaruhi oleh psikologi kognitif dan pemasaran perilaku. Dalam ranah akademik, pendekatan ini menjadi salah satu fondasi penting karena memungkinkan penelitian empiris yang lebih presisi melalui survei, eksperimen, dan model perilaku konsumen.
Namun dalam era digital, konsumen tidak lagi hanya menerima informasi—mereka memproduksi informasi. Mereka menafsirkan merek, membagikan pengalaman, dan bahkan memperdebatkan makna. Karena itu, ilmu pengetahuan harus berkembang untuk menangkap dinamika interpretasi kolektif ini.
7. Pendekatan Kepribadian: Antropomorfisme dan Penciptaan Ikatan Emosional
Pendekatan kepribadian memandang merek sebagai entitas yang memiliki “karakter”. Dalam dunia pemasaran modern, antropomorfisme merek menjadi strategi emosional yang sangat efektif. Namun nilai akademiknya justru terletak pada cara pendekatan ini menghubungkan teori kepribadian manusia dengan perilaku konsumen.
Ketika merek dipersonifikasi, konsumen tidak hanya menganggapnya sebagai produk, tetapi sebagai mitra emosional. Ikatan ini membuka ruang penelitian baru, mulai dari teori narasi hingga psikologi hubungan.
8. Pendekatan Relasional dan Komunitas: Dari Transaksi ke Partisipasi
Pendekatan relasional dan komunitas mungkin paling relevan dengan perkembangan digital saat ini. Merek tidak lagi berdiri sebagai entitas tunggal; ia hidup dalam jaringan hubungan yang kompleks. Pengguna berinteraksi, saling mempengaruhi, membentuk kelompok, dan menciptakan budaya mikro.
Dalam perspektif akademik, dua pendekatan ini menghubungkan ilmu manajemen dengan sosiologi dan antropologi. Merek tidak hanya menjadi pusat hubungan individu dengan organisasi, tetapi juga pusat interaksi antar pengguna. Ekuitas merek pada akhirnya bukan lagi hanya soal awareness, tetapi soal kepercayaan yang dibangun melalui relasi.
Pendekatan kultural membawa kita pada refleksi yang paling dalam: merek adalah bagian dari budaya. Ia mencerminkan nilai-nilai zaman, norma sosial, harapan kolektif, dan bahkan ketegangan dalam masyarakat. Dalam perspektif ini, merek dipahami bukan sebagai produk perusahaan, tetapi sebagai teks budaya yang dapat dibaca, ditafsirkan, dan diperdebatkan.
Pendekatan ini menghubungkan ilmu manajemen dengan kajian budaya, filsafat, dan bahkan kritik sosial. Di sinilah merek menjadi jendela untuk memahami perubahan sosial.
Setelah mempelajari tujuh pendekatan tersebut, satu pelajaran penting muncul: manajemen merek adalah proses mengelola makna. Dalam dunia yang terus berubah, makna tidak pernah final. Ia dinegosiasikan oleh perusahaan, konsumen, komunitas, dan budaya.
Buku Brand Management mengajarkan bahwa mengelola merek berarti mengelola kompleksitas. Dan kompleksitas ini hanya dapat ditangani oleh pemikiran yang interdisipliner, reflektif, dan terbuka terhadap perubahan. Merek bukan lagi objek pasif; ia adalah ruang hidup di mana ilmu pengetahuan, manusia, dan budaya bertemu.
Dalam konteks itu, kebijaksanaan manajerial lahir bukan dari kemampuan mengendalikan, tetapi dari kemampuan membaca zaman. Merek yang bertahan adalah merek yang memahami dirinya sebagai bagian dari ekosistem sosial yang lebih besar. Dan ilmu pengetahuan tentang merek akan terus berkembang selama manusia terus menciptakan makna baru.
Sumber:Youtube






