Sabtu, 01 Maret 2014

Model Budaya Pembelajaran Organisasi Yang Komprehensif


Pengantar
Puji Syukur dihaturkan ke hadirat Allah SWT, berkat karunia dan rahmat-Nya, sehingga tulisan ini dapat diselesaikan. Tulisan ini berjudul: “Model Budaya Pembelajaran Organisasi Yang Komprehensif”.

Merupakan tulisan yang tersimpan dilembaran masa silam, dari Seorang sahabat yang diberikan pada penulis terkait dengan mata kuliah prilaku organisasi.

Mudahan-mudahan tulisan “sahabat saya ini” berguna bagi para “pengelana ilmu” (Ekonomi dan Manajemen). Dan, tetap menjadi sebuah tulisan, yang tak henti-hentinya untuk terus dikoreksi, didalami dan dikaji,. .....

Semoga. AMIN.





By.SofianPian
Lelaki, Penikmat Senja, diTeluk Palu

April/1/03/2014


MODEL BUDAYA PEMBELAJARAN ORGANISASI
YANG KOMPREHENSIF

A.  Pengertian
Secara umum, budaya pembelajaran organisasi merujuk pada pandangan hidup kolektif dalam organisasi atau collective mental programming yang berkembang dalam suatu organisasi pembelajar (learning organization) atau suatu komunitas pembelajar.

Menurut Ryan (Chawla & Renesch, 1995: 290), komunitas-komunitas pembelajar merupakan tempat dimana relasi-relasi selalu dibina dengan baik; keterbukaan dan keragaman (diversity) dihargai; rasa ingin tahu menjadi supremasi; eksperimentasi menjadi kebiasaan; dan terdapat ketekunan dalam menemukan jawaban atas permasalahan-permasalahan.

Menurut Marquardt & Reynolds (1994:31), budaya pembelajaran organisasi adalah budaya yang menghargai pembelajaran, mendorong dan memberi kompensasi atas pengambilan resiko, dan budaya dimana semua bertanggung jawab atas pembelajaran sendiri maupun pembelajaran dari pihak-pihak lain.

Lebih jauh, Lundberg (1996:500) mendeskripsikan budaya organisasi yang menghargai pembelajaran sebagai berikut:
“…What if an organizational culture valued learning? It seems likely that the organization’s cultural assumptions about change would tend to see change as inevitable, perhaps necessary, natural, and feasible. Its values would have change as desirable. Its strategic beliefs would encourage the surfacing and examination of the future, organization environment relations, stakeholder interests, and all aspects of internal managing. Its manifest components, that is, its stories, norms, rituals, and so forth, would reflect and support continuous surfacing and examining. A culture that valued learning would have learns how to learn, that is the organization and its members would have learned that surfacing and examining leads to learning.”


Budaya organisasi itu sendiri menurut Schein (1985; 1992:12) diartikan sebagai:
“… a pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think, and feel in relation to those problems”.

Rumusan yang sama dikemukakan oleh Denison (1990:2), yaitu “… the underlying values, beliefs, and principles that serve as foundation for an organization’s management system as well as the set of management practices and behaviors that both exemplify and reinforce those basic principles.” Dengan kata lain, budaya organisasi merujuk pada pandangan hidup (the way of life) dalam suatu organisasi. (Hatch, 1997:204).

Budaya organisasi dibentuk dan dipertahankan secara sengaja sebagai pegangan karena terbukti atau diyakini dapat memelihara identitas organisasi dan keberhasilan organisasi dalam berinteraksi dengan lingkungan.

Hofstede (2001:391) menekankan budaya organisasi sebagai “the collective programming of the mind” yang membedakan organisasi-organisasi. Sebagai collective level of mental programming, budaya organisasi dibedakan dari individual level of mental programming maupun universal level of mental programming (Hofstede, 2001:2-3).

Penekanan atas peran budaya organisasi sebagai wahana mempersatukan (mengkoordinasikan) orang-orang dalam organisasi melalui kesamaan paradigma dan praktek organisasional dikemukakan juga oleh Caren Siehl & Joanne Martin (Hatch, 1997) sebagai berikut:
“… Organizational culture can be thought of as the glue that holds an organization together through a sharing of patterns of meaning. The culture focuses on the values, beliefs, and expectations that members come to share”.

Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan diatas, dapat dikatakan bahwa budaya pembelajaran organisasi berkaitan dengan pandangan hidup dalam organisasi berupa asumsi-asumsi dasar atau keyakinan-keyakinan, nilai-nilai atau sikap-sikap, dan simbol-simbol atau artefak-artefak mencakup juga sistem-sistem dan praktek-praktek manajerial yang menghargai pembelajaran dan perubahan. Asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, dan artefak-artefak ini sangat diperlukan untuk menjamin integrasi organisasi kedalam dan kapabilitas organisasi dalam berinteraksi dengan lingkungan eksternal.

Perspektif budaya organisasi dan perspektif iklim organisasi (organizational environment atau organizational climate) sebenarnya menunjuk pada substansi yang sama. Akan tetapi, terdapat perbedaan metodologi (dan epistemologi).

Perspektif iklim organisasi memfokuskan diri pada upaya memahami ciri-ciri dari keadaan atau latar (settings) organisasi yang spesifik dengan memperhatikan dimensi-dimensi dan prinsip-prinsip universal. Sedangkan perspektif budaya mencoba menjangkau substansi yang sama melalui penelusuran terhadap pemahaman-pemahaman anggota organisasi terhadap keyakinan dasar organisasi, nilai-nilai, dan artefak-artefaknya.

Konsep iklim organisasi populer pada dekade 1960-an hingga 1970- an  digunakan secara bergantian dengan budaya organisasi. Evolusi perspektif iklim organisasi mengikuti berbagai pola, tetapi tetap berakar pada studi-studi tentang iklim-iklim sosial (Lewin, 1951; Lewin et al., 1939) dan observasi kualitatif atas setting alamiah dari organisasi (Barker, 1965; Likert, 1961).

Kajian-kajian dalam studi organisasi tentang iklim organisasi memusat pada pandangan Tagiuri & Litwin (1968) dan Litwin & Stringer (1968). Dikutip oleh Denison (1990), Tagiuri & Litwin mendefinisikan iklim organisasi sebagai “kualitas lingkungan organisasi secara keseluruhan yang relatif tahan lama yang (a) dialami oleh anggota-anggota organisasi, (b) mempengaruhi perilaku mereka, dan (c) dapat dideskripsikan dalam bentuk nilai-nilai mengenai kumpulan karakteristik (atau atribut-atribut) khusus dari lingkungan”.

Akan tetapi, perbedaan disiplin utama yang dirujuk--iklim organisasi merujuk pada psikologi sosial, sedangkan budaya organisasi pada antropologi—menimbulkan perbedaan metode-metode kajian di antara keduanya. Iklim organisasi juga lebih memperhatikan motivasi dan perilaku individu, sedangkan budaya organisasi menaruh perhatian utama pada level organisasi secara keseluruhan.

Lagi pula, iklim organisasi bernuansa evaluatif, iklim yang sehat vs iklim tidak sehat dan sering tumpang tindih dengan kepuasan, sedangkan budaya organisasi menerima perbedaan di antara organisasi-organisasi tanpa berpretensi menunjukkan budaya yang secara obyektif lebih baik. Lebih dari itu, iklim organisasi ada kalanya hanya menyangkut aspek tertentu, misalnya iklim komunikasi, atau hanyalah satu bagian dari budaya organisasi. (Hofstede, 2001:392).

Perspektif budaya organisasi memusatkan perhatian terhadap nilai-nilai dasar, keyakinan keyakinan, dan asumsi-asumsi yang hidup dalam organisasi, pola-pola perilaku yang berasal dari shared meanings, dan simbol-simbol yang mengekspresikan hubungan-hubungan antara asumsi asumsi, nilai-nilai dan perilaku dari anggota-anggota orgnisasi (Denison, 1990:27).

Kajian teoretis untuk membangun budaya pembelajaran komprehensif lebih cenderung pada perspektif budaya pembelajaran organisasi. Hal ini dilakukan untuk memahami bagaimana anggota-anggota organisasi mengenakan asumsi-asumsi, nilai-nilai, dan simbol-simbol yang mendukung pembelajaran terhadap sistem sosial dimana mereka bergabung.

Merujuk pembagian lapisan budaya dari Schein, budaya pembelajaran organisasi dapat juga dipahami pada tiga tingkatan, yaitu (1) lapisan paling dalam berupa asumsi-asumsi dasar (beliefs); (2) nilai-nilai, sikap-sikap atau norma-norma; dan (3) artefak-artefak atau simbol-simbol pada lapisan paling luar. (Lihat, Bagan 1).
  
Lapisan paling bawah mendasari dan menopang lapisan kedua dan ketiga. Nilai-nilai organisasi biasanya konsisten dengan dan mencerminkan beliefs organisasi. Demikian halnya, artefak-artefak atau simbol-simbol organisasi konsisten dan merefleksikan nilai-nilai organisasi. Pengaruh sebaliknya pun dapat terjadi, yaitu adanya pengaruh dari lapisan paling luar terhadap nilai-nilai. Selanjutnya, nilai-nilai mempengaruhi keyakinan-keyakinan. Akan tetapi, hal yang terakhir ini hanya terjadi jika nilai-nilai benar-benar baru teruji. Keyakinan baru yang terbentuk kemudian diterima sebagai “kebenaran” dan menjadi pembimbing perilaku tanpa keraguan.

Denison (1990:32-33) mengemukakan bahwa asumsi-asumsi dasar adalah “tacit beliefs” dari anggota-anggota organisasi mengenai diri mereka dan orang-orang lain, hubungan-hubungan mereka dengan orang-orang lain, dan sifat dasar (nature) organisasi dimana mereka hidup. Asumsi merupakan tiang penyokong yang tak disadari terhadap nilai-nilai, perspektif, dan artefak dari organisasi. Asumsi merupakan aksioma implisit dan abstrak yang mempengaruhi sistem budaya yang lebih eksplisit. Sedangkan nilai adalah dasar penilaian yang digunakan anggota-anggota organisasi dalam menilai situasi, tindakan, obyek atau orang-orang. Nilai mencerminkan sasaran-sasaran riil, cita-cita, standar, “dosa-dosa” organisasi dan menunjukkan preferensi organisasi di dalam memecahkan permasalahan.

Artefak adalah lapisan budaya yang paling luar, aspek budaya organisasi yang sifatnya tangible. Aspek ini dapat berbentuk verbal, perilaku, atau artefak fisik (Denison, 1990:32-33, Hatch, 1997:216). Manifestasi verbal termasuk cerita-cerita, bahasa, pahlawan, penjahat, metafor, dan mitos-mitos.

Manifestasi perilaku meliputi upacara-upacara, pola-pola komunikasi, tradisi atau kebiasaan-kebiasaan, dan ganjaran atau hukuman. Sedangkan manifestasi fisik mencakup logo perusahaan, bangunan, pakaian atau penampilan orang, obyek material dan tata letak fisik. Artefak yang sama dapat dimaknai secara berbeda-beda. Dengan begitu, budaya organisasi memiliki dua sisi bertentangan sekaligus: kebersamaan dan keterpisahan (keragaman) pemaknaan. Pada umumnya, pihak manajemen dalam organisasi lebih mudah mengendalikan sisi fisik dan desain dari artefak-artefak ketimbang sisi pemaknaan dari budaya organisasi.

Analisis untuk menemukan hubungan yang konsisten antara ketiga lapisan budaya (pembelajaran) organisasi merupakan hal yang penting dalam memahami hakikat budaya (pembelajaran) organisasi. Hal ini memerlukan kehati-hatian. Artefak yang sama dapat dimaknai atau berasal dari nilai serta keyakinan yang berbeda. Sebaliknya, keyakinan dan nilai yang sama bisa diwujudkan melalui simbol yang berbeda. Tidak begitu mudah bagi setiap orang untuk memahami nilai dan asumsi dasar dari suatu organisasi hanya dari memahami artefak-artefaknya secara sepintas saja.

Suatu budaya yang konsisten antara ketiga lapisannya, secara teoritis memiliki daya pengaruh yang lebih tinggi terhadap praktek-praktek organisasi, tanpa mempersoalkan arahnya, positif (mendukung, membangun, menciptakan), atau negatif (menghambat, merusak, menghancurkan). Dalam terminologi Argyris, bapak pembelajaran organisasi, dalam hal ini terdapat konsistensi antara theories-in-use dan espoused theories.

Budaya pembelajaran dapat juga dipahami dari dimensi-dimensinya. Model budaya pembelajaran organisasi yang dikembangkan di sini mengacu pada pendekatan Denison. Menurut Denison (1990:1), pengembangan budaya organisasi pada umumnya menggunakan dua dimensi sebagai titik rujukan. Pertama, fokus utama pengembangan budaya (berfokus terhadap pengembangan dinamika internal organisasi atau terhadap dinamika lingkungan eksternal organisasi). Kedua, pandangan mengenai perubahan (menekankan perubahan dan fleksibilitas, atau stabilitas dan keteraturan). Dengan demikian, terdapat empat dimensi budaya organisasi, yaitu keterlibatan (involvement), konsistensi (consistency), kemampuan beradaptasi (adaptability), dan misi (mission). (Lihat, Bagan 2).
Menurut Denison (1990), siklus penyesuaian dengan perubahan lingkungan dikembangkan melalui konsensus-konsensus tentang misi dan strategi, sasaran, sarana pencapaian tujuan, pengukuran, dan tindakan korektif yang diterima bersama. Sedangkan proses integrasi internal ditempuh dengan (1) menyamakan bahasa dan kategorisasi; (2) menetapkan batasan dan kriteria kelompok atau keanggotaan; (3) distribusi kekuasaan dan status untuk mengelola perasaan agresi; (4) mengembangkan norma-norma tentang intimasi, persahabatan dan cinta dalam rangka mengelola perasaan-perasaan afeksi dan cinta; (5) menetapkan dan mengalokasikan rewards and punishments; dan (6) memberikan penjelasan atas hal-hal tak terjelaskan dan melampaui pengendalian organisasi melalui ideology organisasi, agar memudahkan pemaknaan anggota dalam memperoleh rasa aman dan kepastian.

Dimensi-dimensi di atas menunjukkan bahwa budaya organisasi berkepentingan dengan upaya menjaga eksistensi dan keberhasilan organisasi dengan menyeimbangkan tuntutan akan penyesuaian yang cocok dengan lingkungan eksternal yang sekaligus didukung oleh dan dalam rangka memelihara integrasi internal organisasi. Prinsip keseimbangan juga dianut dalam mengelola kebutuhan akan perubahan di satu sisi, dan keteraturan atau prediktabilitas di sisi lain.  Organisasi yang gagal cenderung terlampau menekankan salah satu dan mengabaikan yang lainnya. Misalnya saja, organisasi terlalu mempertahankan aturan-aturan sehingga mengalami status quo dan otoritarianisme, dan gagal melakukan perubahan. Sebaliknya, organisasi yang terlalu menekankan perubahan dan kebebasan (demokrasi) tanpa memberi perhatian semestinya atas tatanan-tatanan minimal bagi integrasi internal dapat menjerumukan diri dalam situasi anarkis atau anomali.  Kegagalan juga dapat terjadi ketika organisasi terlalu berfokus pada keadaan internal, sehingga lalai atau tidak memadai dalam mempertahankan eksistensinya pada orbitnya. Kecenderungan lainnya, perusahaan terlalu berfokus pada kepentingan eksternal tanpa dukungan koherensi atau integrasi internal. Dalam situasi terakhir ini, perusahaan tidak cukup memiliki energi kolektif dan terpadu yang dibutuhkan dalam menyambut perubahan-perubahan dan melayaninya secara unggul. Jadi, model ini memberikan wawasan tentang pentingnya pengembangan budaya (pembelajaran) organisasi yang terpadu, selaras, seimbang, dan memadai. 
Mengacu tingkatan budaya organisasi dari Schein dan dimensi budaya organisasi dari Denison, maka dapat dikemukakan bahwa budaya pembelajaran organisasi, secara teoritis, paling efektif dalam mendukung efektivitas dan kinerja organisasi, jika keempat dimensinya dikembangkan secara seimbang, memadai, dan holistik sebagai suatu bauran (mixture), mulai dari asumsi dasar organisasi hingga artefak. Dengan kata lain, pengembangan budaya pembelajaran dilakukan dengan memberikan perhatian terhadap keseimbangan dan keselarasan kepentingan focus internal versus fokus eksternal, dan keseimbangan antara kepentingan stabilitas versus fleksibilitas, yang selaras juga di antara ketiga level budaya pembelajaran organisasi.
 

B.  Maksud Dan Tujuan  
Maksud dari  tulisan ini adalah mengkaji dan memahami pentingnya konsep/model ‘Budaya Pembelajaran Organisasi bagi keberhasilan organisasi.  
C. Pembahasan

Model Budaya Pembelajaran Komperehensif
Model komperhensif dari budaya pembelajaran organisasi yang diajukan di sini mengaitkan tingkatan pembelajaran, budaya organisasi, perilaku organisasi mengenai perubahan, dan dimensi-dimensi budaya pembelajaran organisasi. Setiap dimensi budaya pembelajaran dikembangkan hingga mencapai tataran treble loop learning, menjangkau asumsi-asumsi dasar atau beliefs organisasi dalam suatu keselarasan di antara tiga lapisan budaya organisasi, serta mengandaikan pengembangan perilaku memadai dari organisasi. Keseluruhan budaya pembelajaran merupakan suatu bauran (mixture) yang memadai bagi setiap organisasi, meskipun dapat ditemukan adanya suatu kisaran yang dihuni secara umum oleh himpunan (cluster) organisasi dalam lingkungan, habitat, atau tingkat kemajuan yang relatif sama.

Keterkaitan antara tingkatan pembelajaran dengan budaya organisasi dan perilaku organisasi terutama bersumber pada model dari Borzsony dan Hunter (1996). Klasifikasi dimensi-dimensi budaya pembelajaran terutama mengacu pada Denison (1990). Model komprehensif digambarkan pada Bagan 3.

Borzsoni dan Hunter menunjukan adanya hubungan antara budaya, perilaku organisasi, dan tingkatan pembelajaran. Single-loop learning berkaitan dengan lapisan symbol atau artefak organisasi dan perilaku “allowed to learn/ change.” Pembelajaran pada tataran double loop-learning berkenaan dengan sikap (attitudes) atau nilai-nilai (values) dari budaya organisasi dan perilaku organisasi adalah “able to learn/ change.” Sedangkan triple-loop learning berkenaan dengan lapisan terdalam dari budaya organisasi berupa keyakinan-keyakinan, dan perilaku “willing to learn/ change.” Secara teoritis, learning organization akan semakin meningkat kapabilitas kolektifnya, jika budaya pembelajaran dikembangkan hingga pada level yang terdalam, yaitu menyentuh asumsi-asumsi dasar atau beliefs dari organisasi.

 

Jadi, budaya pembelajaran organisasi dapat ditelusur pada empat dimensi, yaitu (1) penekanan akan keterlibatan karyawan individual dalam pembelajaran organisasi dan adanya fleksibilitas (involvement); (2) perhatian akan konsistensi dalam organisasi dan penekanan akan stabilitas (consistency); (3) penekanan akan pentingnya lingkungan eksternal sebagai fokus pembelajaran dan penekanan akan perubahan dan fleksibilitas (adaptability); dan (4) penekanan akan keberhasilan organisasi (mission) dan stabilitas atau keteraturan sebagai titik rujukan pembelajaran organisasi. Secara teoretis, setiap dimensi mestinya dikembangkan sampai level treble loop learning.

Berikut ini uraian lebih rinci dari masing-masing dimensi budaya pembelajaran organisasi. Pengembangan ini dilakukan berdasarkan penelusuran atas berbagai pandangan mengenai budaya pembelajaran yang tersedia pada berbagai kepustakaan.

Pada tulisan ini dibatasi hanya pada kajian aspek: organisasi, lingkungan interen dan eksteren organisasi, efektivitas organisasi, efektivitas manajemen sumber daya manusia mempengaruhi pencapaian tujuan organisasi, dan kriteria mengenai efektivitas organisasi, dan fungsi manajemen (managerial function)

1. Dimensi Keterlibatan (Involvement)
Gagasan pokok dari hipotesis keterlibatan adalah budaya organisasi yang efektif menekankan prinsip-prinsip keterlibatan (involvement), partisipasi, dan keterpaduan dari kepentingan-kepentingan individu dengan kepentingan-kepentingan organisasi (Denison, 1990:5-8; Denison & Mishra, 1995:213-214).

Dengan begitu akan tercipta rasa kepemilikan dan tanggung jawab, sehingga komitmen terhadap organisasi akan meningkat. Untuk itu, dibutuhkan lebih sedikit sistem pengendalian (eksplisit) yang ketat, atau terjadi peningkatan kapasitas bertindak secara otonom.

Budaya organisasi dengan penekanan akan keterlibatan yang tinggi memandang setiap karyawan sebagai manajer yang bertanggung jawab atas aset-aset perusahaan. Lagi pula, “self-management” ini berarti bahwa setiap pribadi bertanggung jawab untuk mengatur diri sendiri. Pada tatanan sistem, perusahaan menerapkan pelibatan karyawan dalam kepemilikan dan keberhasilan perusahaan, misalnya menerapkan Employee Share Ownership Program (ESOP) dan/ atau “profit sharing.”

Penekanan keterlibatan mengandaikan keberhasilan pembelajaran organisasi sebagai resultante dari keterlibatan, partisipasi, dan keterpaduan kepentingan dari individu-individu dengan kepentingan organisasi dalam melakukan atau mendukung pembelajaran diri sendiri dan pembelajaran dari pihak-pihak lain.

Dengan demikian, karyawan akan memiliki rasa memiliki dan komitmen terhadap pembelajaran organisasi. Dari segi organisasi, hal ini berarti struktur dan sistem-sistem perlu dirancang untuk memungkinkan “self management” dan juga mengaitkan pengupahan, pengakuan, dan promosi dengan pembelajaran.

Asumsi-asumsi dasar dari budaya pembelajaran ini berupa keyakinan mengenai posisi khas masing-masing individu dan kolaborasi dalam proses pembelajaran organisasi. Yaitu, adanya suatu keyakinan dasar yang hidup dalam organisasi bahwa “setiap orang memiliki bakat-bakat yang unik dan berbeda-beda yang dapat disumbangkan bagi organisasi.” (Fearon, 1996:3). Diyakini bahwa pembelajaran adalah suatu proses alamiah, dan kebanyakan orang, sebagai individu, sangat terampil secara alamiah. Kapasitas untuk pembelajaran substantif diyakini telah ada dalam diri kebanyakan orang. Manusia pada dasarnya adalah good leaners secara alamiah, dan kecenderungan serta kapasitas pembelajaran ini dibawa-serta dalam pekerjaan sehari-hari (Wise, 1996:144; Montgomery & Scalia,1996:445). Bahkan, anggota-anggota organisasi meyakini arti penting dari tanggung jawab individu terhadap pembelajaran. Suatu keyakinan bahwa tanggung jawab atas pembelajaran harus dapat diterima oleh setiap anggota, jika organisasi benar-benar berhasrat menciptakan suatu budaya pembelajaran. (Hoffman & Withers, 1995:468-469; Marquardt & Reynolds, 1994). Asumsi ini sejalan dengan asumsi tentang kapasitas mengelola dirisendiri (Wood,1995) dan kompetensi (Handy,1995).

Sikap-sikap atau norma-norma dan nilai-nilai yang menonjol di sini adalah adanya proses internal yang lebih demokratis. Yaitu, inklusi dan partisipasi dipandang sebagai hal yang penting, meskipun membawa konsekuensi berupa inkonsistensi, perselisihan atau konflik (Denison, 1990:110). Learning Organization (LO) yang efektif dipahami sebagai komunitas pembelajaran yang demokratis.

Nilai-nilai yang dianut berkaitan dengan penghargaan atau respek terhadap individu dan nilai-nilai kemanusiaan yang transendental: cinta kasih, keingintahuan (wonder), belas kasihan (compassion), dan kerendahan hati (Kofman dan Senge, 1995:32-33).

Keempat nilai transendental di atas memungkinkan berkembang luasnya nilai-nilai lain berupa kebebasan kreativitas (Pollard, 1996:70; Byrd, 1995:478-479); trust dan perlawanan atas ketakutan, bahkan sebaliknya mendorong keterbukaan, kesediaan untuk menerima ambiguitas dan perspektif yang berbeda (Vogt, 1995:302-303; Hoffman & Withers, 1995:469). Juga ada nilai egaliter dan sikap positif terhadap resiko atau kesalahan, dimana kesalahan pada tingkat tertentu dibutuhkan bagi kemajuan (Leonard-Barton, 1995; Marquardt & Reynaolds, 1994). Dalam rumusan yang mirip, Handy (1995) mengemukakan penghargaan atas rasa percaya (trust), keingintahuan (curiosity), dan juga forgiveness-celebration. Semuanya ini berangkat dari kesadaran akan pentingnya penghargaan atas upaya-upaya kreatif dari setiap individu dalam memajukan dinamika internal organisasi dan kesediaan untuk memaafkan kesalahan-kesalahan dalam uji coba yang dilaksanakan demi kemajuan individu dan organisasi.

Manifestasi perilaku dari dimensi ini, di antaranya berupa nonjudgmental conversations (Vogt, 1995: 302-303); kebebasan mengemukakan pandangan dan mencoba gagasan-gagasan yang tidak konvensional (Wise, 1996:44); sharing atau berbagi bahan bakar mengenai pembelajaran yang efektif, informasi, perasaan-perasaan, kelemahan-kelemahan, kesalahan-kesalahan dan kreativitas, serta tidak ada hukuman untuk kesalahan dalam pembelajaran (Montgomery & Scalia, 1996:445); pengampunan atas hal-hal yang telah terjadi (forgive the past), merasakan kesempurnaan dari setiap kejadian, terbuka dan menyingkirkan tuduh-menuduh, serta kebebasan bertindak (Pattakos, 1996:174). Selain itu, tersedia sumber daya (waktu dan dana) bagi pembelajaran yang diprakarsai oleh individu dengan system pengupahan atau pengakuan dan sistem pengembangan karier (Leonard- Barton, 1995).

2. Dimensi Consistency
Pandangan konsistensi menekankan budaya yang kuat dari organisasi. Di sini ditekankan adanya sistem-sistem pengendalian implisit, didasarkan pada nilai-nilai yang diinternalisasi, dari pada sistem-sistem pengendalian eksternal yang mendasarkan diri pada pedoman-pedoman (rules) dan aturan-aturan (regulations). Dengan kata lain, budaya yang kuat menekankan sistem keyakinan, nilai-nilai, dan simbol yang dipahami secara luas oleh anggota-anggota organisasi, atau rumusan kolektif (collective definition) mengenai perilaku, sistem, dan makna (meanings) secara terpadu yang menuntut kepatuhan individual (individual conformity) ketimbang partisipasi sukarela (Denison & Mishra, 1995:214). Intinya, perspektif ini menekankan konformitas atau agreement dan prediktabilitas.

Asumsi dasar dari budaya yang kuat adalah bahwa system pengendalian implisit, yang didasarkan pada nilai-nilai yang diinternalisasi, merupakan sarana yang efektif untuk mencapai integrasi atau konsistensi normatif. Hal ini memungkinkan organisasi melakukan tindakan-tindakan terkoordinasi yang dilandasi oleh kesamaan pemahaman di antara anggota organisasi. Dengan demikian, organisasi dapat bereaksi terhadap lingkungan secara cepat dan memadai, serta mampu melindungi sistem nilai yang dianut (Denison, 1990:11; Denison & Mishra, 1995:215). Intinya, dimensi ini menekankan kemampuan organisasi untuk memperoleh konsensus dan menghasilkan tindakan-tindakan terkoordinasi.

Nilai yang lazim adalah penghargaan akan konsistensi, harmoni, dan konsensus. Tingginya derajat integrasi normatif, shared meanings, dan kerangka acuan yang sama akan meningkatkan kapasitas organisasi untuk kegiatan-kegiatan terkoordinasi dan mendukung proses keputusan yang lebih cepat (Denison, 1990:10). Meskipun begitu, penekanan akan konsistensi secara berlebihan bisa menjadi faktor penghambat bagi perubahan dan adaptasi organisasi (Denison & Mishra, 1995:215).

Hoffman dan Withers (1995:474) mengatakan, budaya yang konsisten merupakan kebutuhan bagi pembelajaran dan penciptaan learning organization, seperti berikut:
“…a strong, consistent culture grown from shared values provides all of the control necessary for directing learning. True learning organizations will grow from a culture accepts the premise that continuous, uncontrolled learning is a necessity for future success. As leaders continue to focus on maintaining the strength of the culture and making sure that it is consistent, the culture will allow associates throughout the organization to learn at the rate of speed necessary to move forward.”

Dimensi ini memiliki keyakinan dasar bahwa organisasi adalah suatu komunitas pembelajaran. Nilai-nilai yang dianut meliputi keterpaduan, keterkaitan, dan pengurangan hambatan-hambatan bagi pengembangan pengetahuan (DeChant, 1996:113-114).

Montgomery dan Scalia (1996: 445) mengemukakan mengenai adanya persaingan terkendali (controlled competition), dan penekanan akan semangat kolaborasi. Para manajer berperan sebagai fasilitator yang menyediakan sumber daya dan dukungan bagi pembelajaran melalui penciptaan desain dan pemberian motivasi bagi karyawan agar mencapai sasaran yang telah ditetapkan, meskipun mereka bukanlah “ahli” bagi pembelajaran karyawan (Byrd, 1995:482-483).

Nilai trust pada dimensi ini didasarkan pada respek satu sama lain dan keyakinan akan kompetensi pihak-pihak lain. Namun, trust ini juga dilandasi oleh hasrat untuk melakukan hal yang benar. Berkembang juga suatu keyakinan bahwa organisasi akan melindungi dan menghargai mereka yang mematuhi kepentingan organisasi. Lagi pula, manajemen selalu mengkomunikasikan dan bertindak cepat atas tindakan-tindakan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri (Montgomery dan Scalia, 1996:459).

Pada tataran artefak, terdapat sejumlah ciri yang konsisten dengan asumsi-asumsi dasar dan nilai-nilai pembelajaran yang menekankan konsistensi. Hoffman dan Withers (1995:470-471) mengemukakan, kunci bagi konsistensi adalah adanya sharing dari setiap pribadi mengenai tanggung jawab terhadap kesehatan budaya perusahaan. Jika ada trust dan semangat teamwork, maka sharing mengenai kesalahan-kesalahan dapat berlangsung tanpa beban sehingga menyediakan basis bagi keberhasilan pihak lain dalam organisasi. Rasa takut membuat kesalahan juga akan berkurang. Semua kondisi ini dibutuhkan bagi pembelajaran dan perubahan.

Organisasi mungkin tidak hanya memiliki satu budaya pembelajaran yang sama untuk keseluruhan organisasi. Organisasi mungkin memiliki beberapa sub-budaya yang berbeda, misalnya pada tingkat divisi, departemen, wilayah, tugas, bahkan pada level individu. Akan tetapi, di sini terdapat konsistensi yang tinggi di antara subbudaya. Konsistensi juga terjadi di antara sub-budaya dengan budaya pembelajaraan organisasi yang “memayungi” secara keseluruhan. (Lundberg, 1996:495).

Sebagaimana dikemukakan di atas, jika para manajer terus-menerus memusatkan perhatian pada upaya mempertahankan kuatnya budaya dan menjamin konsistensi budaya pembelajaran, niscaya budaya pembelajaran organisasi akan membuat seluruh lapisan organisasi belajar pada tingkat kecepatan yang dibutuhkan bagi kemampuan berkelanjutan (Hoffman & Withers, 1995:474). Satu elemen penting untuk itu adalah meluasnya tanggung jawab atas pembelajaran diri sendiri maupun pihak lain sebagaimana dikemukakan oleh Marquardt dan Reynolds (1994).

3. Dimensi Adaptability
Konsepsi ini menekankan sistem-sistem nilai dan keyakinan yang mendukung kapasitas organisasi dalam menerima, menginterpretasikan, menterjemahkan signal-signal dari lingkungan ke dalam perubahan-perubahan kognitif, perilaku dan struktur internal sehingga meningkatkan kesempatan perusahaan untuk bertahan hidup, bertumbuh dan berkembang. (Denison:11; Denison & Mishra:215). Jadi, ada tiga aspek di sini. Pertama, kemampuan untuk memahami (perceive) dan menanggapi lingkungan eksternal. Kedua, kemampuan untuk menggapai para pelanggan internal. Ketiga, kapasitas untuk merestrukturisasi dan melakukan reinstitusionalisasi sejumlah perangkat perilaku dan proses yang memungkinkan adaptasi organisasi (Denison, 1990:12). Pandangan yang sama dikemukakan oleh Schein (1996: 67) sebagai berikut:

“…The organizations that have survived and make important transitions over many decades seems to have always had a cultural core that was fundamentally functional--a commitment to learning and change; a commitment to people and all of the stakeholders in the orgainization, including customers, employees, suppliers, and stockholders; and a commitment to building a healthy, flexible organization in the first place. If such a cultural core does not exist from the beginning, the organization may not survive in the long run, especially as environmental turbulance increases.”

Dimensi ini memiliki asumsi dasar bahwa sistem-sistem terbuka merupakan kebutuhan bagi pengembangan pengetahuan dan perubahan organisasi (Byrd, 1995:478, 484-485). Juga diyakini bahwa orang-orang menempatkan diri sebagai bagian dari aliran pemakai/ pemasok dan saling mendukung dalam penciptaan nilai tambah bagi masyarakat dan lingkungan. Ada keyakinan bahwa semua unsur dengan sadar maju bersama-sama dalam memajukan masyarakat (Wood, 1995:415). Secara implisit, asumsi ini mengandaikan asumsi lainnya, yaitu pengakuan akan ketidakmampuan untuk mengetahui dan mengerjakan sendiri berbagai hal (Byrd, 1995:479- 480).

Perubahan cara berpikir dan bertindak kolektif menjadi penting dalam kaitan dengan upaya organisasi secara terpadu untuk bertahan hidup, bertumbuh dan berkembang sejalan dengan dinamika dan gelombang perubahan dunia bisnis.

Wise (1996:45) mengemukakan, premis utamanya adalah penerapan pendekatan-pendekatan yang benar-benar baru dan berbeda dalam mengelola kapital intelektual sebagai basis penciptaan nilai. Yaitu, bagaimana organisasi-organisasi menciptakan kondisi pembelajaran melalui pengelolaan orang-orang yang dapat menghasilkan nilai eksepsional bagi para pemangku kepentingan (stakeholders), seperti pelanggan, pemegang saham, mitra-mitra bisnis, karyawan dan manajemen, masyarakat dan lingkungan hidup.

Nilai-nilai yang mendukung pembelajaran adaptif adalah keterbukaan, kesediaan saling mendengarkan (dengan pelanggan eksternal dan internal), informasi yang tersebar luas, kemampuan mengikuti perkembangan-perkembangan mutakhir (Byrd, 1995:485). Nilai-nilai lain berupa semangat customer-driven, menghargai perubahan sebagai kesempatan untuk bertumbuh, serta sikap menerima hal-hal tak diharapkan sebagai kesempatan untuk belajar (Marquardt & Reynolds, 1994).

Keyakinan akan ketidakmampuan mengerjakan sendiri berbagai hal mendorong berkembangnya semangat kemitraan (partnership), dan etika bisnis yang menyertainya: integritas yang mutlak, rasa percaya (trust), dan keterbukaan (Byrd, 1995:480-481).

Artefak-artefak dari dimensi ini meliputi keterjalinan berbagai unsur lingkungan eksternal dan unsur-unsur dalam organisasi, serta simbol-simbol kemitraan yang saling menguntungkan. Termasuk di dalamnya adalah ketersediaan sarana informasi yang mudah diakses mengenai pelanggan, pemasok, pesaing, unit-unit terkait dalam organisasi. Juga ada kesepakatan-kesepakatan kerja sama dan saling penyesuaian dengan unsur-unsur di dalam maupun di luar organisasi.

4. Dimensi Mission
Pandangan ini menekankan pentingnya misi dan sense of mission, atau suatu pemahaman yang sama dari anggota organisasi mengenai fungsi dan tujuan organisasi (Denison, 1990:13). Manfaat dari misi adalah (1) memberikan purpose and meaning, serta sekumpulan alasan-alasan non ekonomis mengenai pentingnya kegiatan-kegiatan organisasi (Denison, 1990:13; Denison & Mishra,1995:216) sehingga perilaku organisasi memperoleh basis intrinsik atau basis spiritual (Denison, 1990:13); (2) memberikan kepastian dan pengendalian (clarity and direction), atau menentukan jenis-jenis tindakan yang cocok bagi organisasi dan anggota-anggotanya (Denison, 1990:13; Denison & Mishra: 1995:216). Mengutip Wake (1979) dan Davis (1987), Denison mengatakan bahwa sense of mission ini, antara lain membutuhkan penerapan future perfect thinking, sehingga anggota organisasi berupaya memperbaiki keadaan masa kini menyongsong masa depan yang diimpikan (Denison, 1990:14).

Dari dimensi ini, budaya pembelajaran berkembang melalui penekanan akan sense of mission and direction. Tugas organisasi adalah menetapkan misi dan visi yang mendorong pembelajaran (Handy, 1992). Selanjutnya organisasi menciptakan iklim psikologis yang aman bagi pembelajaran dengan menyediakan kesempatan untuk latihan, memberikan dukungan dan dorongan untuk melakukan pembelajaran, memberikan penghargaan atas usaha pada arah yang tepat, dan menetapkan norma-norma yang melegitimasi kesalahan dan eksperimentasi (Schein, 1993).

Byrd (1995 :480-482) mengemukakan dua prinsip penting. Pertama, pembelajaran berkaitan dengan keberhasilan perusahaan. Kedua, keberhasilan perusahaan adalah milik bersama (1995:385-386).

Asumsi dasar dari prinsip pertama adalah bahwa pembelajaran sangat penting (faktor kritis) bagi keberhasilan perusahaan sebagai suatu entitas. Nilai-nilai atau sikap yang mendasarinya adalah bahwa pembelajaran mestinya didorong oleh kebutuhan bisnis dan misi perusahaan dan terkait dengan kepentingan perusahaan dalam mempertahankan posisi terdepan dalam berbagai aspek, seperti penguasaan teknologi, proses-proses bisnis, dan cara-cara pengelolaan terbaru.

Tataran artefak budaya pembelajaran ini, antara lain, ditandai oleh penataan pelatihan formal dan situasi yang memungkinkan on the job learning, serta penyediaan informasi bisnis untuk mendukung keberhasilan perusahaan. Pelatihan-pelatihan formal sering difokuskan pada aspek-aspek kritis bagi keberhasilan bisnis sesuai dengan perkembangan mutakhir. Anggota-anggota organisasi biasanya menunjukkan antusiasme untuk berpartisipasi dalam program-program tersebut.

Tujuan organisasi menurut Mondy terdiri atas; (1) Survival yaitu mampu bertahan dalam menghadapi tantangan yang bersifat eksternal dan internal; (2) Profit dan effisiency yaitu memaksimasi keuntungan dengan tetap memperhatikan efisiensi organisasi di segala bidang, sehingga dalam pencapaian maksimasi keuntungan selalu memperhatikan efektivitas organisasi.

Efektivitas organisasi dapat tercapai sebagai akibat dari adanya efektivitas sumber daya manusia; Stakeholder Satisfied yaitu kepuasan dari pihak-pihak terkait, yang terdiri atas masyarakat secara keseluruhan, pemilik dan pelanggan serta pemerintah.

Kepuasan dari pihak-pihak terkait harus mampu diwujudkan agar perusahaan dapat senantiasa melangsungkan hidupnya (going concern). Upaya organisasi atau perusahaan untuk mewujudkan kepuasan pihak-pihak terkait adalah merupakan pencapaian survival. Dari gambaran secara teoritis tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa efektivitas organisasi pada akhirnya akan memberikan pengaruh terhadap tujuan organisasi.

Untuk selalu dapat bertahan (survive), maka setiap organisasi atau perusahaan secara kontinue selalu mengadakan identifikasi faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi efektivitas MSDM dan tujuannya, karena organisasi atau perusahaan sering dihadapkan pada persaingan (competition) baik pada tingkat lokal maupun global.

Pada persaingan lokal (local competition), kemampuan organisasi atau perusahaan dalam mengidentifikasikan kemampuannya untuk unggul melalui efektivitas sumber daya manusia, lebih mudah dengan tingkat variasi yang rendah jika dibandingkan dengan persaingan secara global (global competition). Pada persaingan lokal (lokal competition), setiap organisasi atau perusahaan masih memperlihatkan adanya kemampuan sumber daya manusianya yang cenderung hampir sama, dan karakteristik permasalahan yang dihadapi cenderung juga sama (Wayne Mondy dan Robert M. Noe: 1992).

Selanjutnya menurut Mondy; Kompetisi global (global competition) merupakan persaingan kesejagatan yang dilakukan oleh setiap organisasi atau perusahaan, sehingga mampu menciptakan efektivitas sumber daya manusia yang kecenderungannya lebih variatif, maupun efektivitas tujuan organisasi. Penjelasan yang diungkapkan oleh Mondy mengarah pada adanya pendekatan globalisasi dengan menggunakan pendekatan multi konsep dalam memandang efektivitas sumber daya manusia, sehingga dapat disimpulkan bahwa Mondy menganut konsep modern untuk mengantisipasi tantangan perusahaan dalam menghadapi era globalisasi.

Menurut Harris, tujuan organisasi Profit, yaitu maksimasi keuntungan, Survival yaitu mampu bertahan dalam menghadapi tantangan ekstenal maupun internal dan Adaptibility yaitu mampu menyesuaikan diri dari globalisasi bisnis. Ada dua persamaan tujuan organisasi menurut Harris dan Mondy, yaitu profit dan survival. Harris juga menganut konsep modern, hal ini dibuktikan dengan adanya istilah (term) globalization of bussines, dengan demikian Harris mampu mengantisipasi tantangan eksternal dengan upaya untuk tetap bertahan dan beradaptasi.

Ada suatu anggapan bahwa ukuran modern atau tidaknya suatu konsep antara lain tergantung pada lingkungan eksternal yang berupa teknologi. Namun, Harris tidak memasukan teknologi dalam faktor lingkungan eksternal, karena Harris menganggap bahwa organisai bukan obyek dari teknologi. Hal ini dibuktikan dengan suatu pendekatan lima langkah untuk perencanaan sumbe daya manusia (A five-Step Approach to Human Resource Planning), yang salah satunya mengkaji ulang misi dan visi organisasi. Visi organisasi menerangkan tentang image orang terhadap organisasi tersebut, misalnya organisasi merupakan leader atau pemimpin dari soft ware, dengan demikian software yang merupakan unsur teknologi dalam lingkungan perusahaan, merupakan suatu bagian dari tantangan internal organisasi atau perusahaan.

Tujuan organisasi menurut Dessler adalah; Profit, Productivity dan inovative. Productivity merupakan perbandingan antara output dan input, yaitu output yang optimal diperoleh dari penggunaan input yang minimal. Produktivitas disebut pula sebagai efisiensi. Inovative merupakan sifat yang senantiasa ingin menghasilkan sesuatu yang baru. efektivitas dari aktivitas-aktivitas sumber daya manusia akan berdampak pada pencapaian tujuan organisasi, dengan demikian dapat dikatakan bahwa efektivitas sumber daya manusia akan mempengaruhi tujuan organisasi.

Konsep yang disampaikan oleh Dessler merupakan konsep yang mampu mengantisipasi tantangan di era global, hal ini dapat dibuktikan oleh faktor ekternal berupa adanya globalisasi, dan tujuan organisasi yang bersifat inovative, dengan demikian konsep yang disampaikan oleh Dessler juga bersifat modern.

Tujuan organisasi menurut Milkovich and Boudreau terdiri atas Hirarchy Structure, Nomrs/ Culture, Profit, Market Share, Quality of Product. Pelaksanaan aktivitas sumber daya manusia secara terintegrasi akan mengakibatkan sumber daya manusia yang efektif. Sumber daya manusia yang efektif akan memudahkan terwujudnya tujuan organisasi. Dari gambaran analisis secara teoritis, dapat disimpulkan bahwa efektivitas sumber daya manusia mempengaruhi tujuan organisasi di era global.

Milkovich and Boudreau telah memasukan dampak dari persaingan global dalam tantangan eksternal yang akan dihadapi oleh organisasi atau perusahaan, tetapi di dalam tujuan organisasi tidak secara langsung dapat menjawab kemampuan yang dapat dicapai dalam melakukan persaingan global. Oleh sebab itu, konsep Milkovich merupakan konsep modifikasi modern (antara tradisional dan modern).

Tujuan organisasi menurut Werther and Davis meliputi; profit, stakeholder, productivity. Tujuan tersebut dapat terwujud jika aktivitas-aktivitas sumber daya manusia dilaksanakan secara efektif, sehingga dapat disimpulkan bahwa efektivitas sumber daya manusia akan mempengaruhi tujuan organisasi.

Lingkungan Eksternal menurut Werther and Davis tidak membahas mengenai kompetisi di era global, dan tujuan perusahan juga tidak menunjukan adanya ketahanan (survive) serta inovatif, oleh karena itu Werther and Davis dapat disebut sebagai penganut konsep tradisional.

Tujuan perusahaan menurut Sofjan Assauri meliputi survival, competitiveness, growth dan productivity. Efektivitas fungsi-fungsi MSDM akan berdampak secara langsung terhadap tujuan organisasi. Dengan demikian efektivitas perusahaan berpengaruh terhadap tujuan organisasi. Ada beberapa pandangan dari para ahli berkaitan dengan efektivitas organisasi dalam mencapai tujuanya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:



Sumber: Monday, Noe and Premeaux; Human Resources Management, 1999.


Perusahaan hendaknya harus mampu dalam menjawab tantangan di era globalisasi saat ini. Pemikiran dari Assauri ini menganut konsep modern dalam mengembangkan organisasi atau perusahaan. 
 
1.    Kriteria Mengenai Efektivitas Organisasi
Dua kesimpulan pokok dari teori sistem adalah : bahwa (1) kriteria efektivitas harus menggambarkan seluruh siklus input - proses - output, tidak hanya output saja; (2) bahwa kriteria efektivitas harus menggambarkan hubungan timbal balik antara organisasi dan lingkungan yang lebih luas, tempat hidupnya organisasi (Gibson, 1997:31). 
Dari dua hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa: (1) efektivitas organisasi adalah konsep yang sangat luas, yang mencakup sejumlah komponen konsep; ( 2) Tugas manajemen adalah mempertahankan keseimbangan yang optimal antara semua komponen konsep. 
Apabila organisasi itu diartikan sebagai suatu elemen dari sistem yang lebih besar (lingkungan),  yang melalui waktu mengambil sumber-sumber, memrosesnya, dan mengembalikannya kepada lingkungan, maka dari itu  pertanyaan yang muncul adalah apakah organisasi itu mampu bertahan dan hidup terus dalam lingkungan tersebut. Maka kelangsungan hidup organisasi merupakan ukuran terakhir, atau ukuran jangka panjang mengenai efektivitas organisasi.   
Untuk lebih jelasnya dapat dijelaskan kriteria dari efektivitas organisasi pada gambar sebagai berikut:
 


Produksi (Production); Produksi menggambarkan kemampuan organisasi untuk memproduksi jumlah dan mutu output yang sesuai dengan permintaan lingkungan. Ukuran tentang produksi meliputi laba, penjualan, bagian pasar (market share), mahasiswa yang lulus, pasien yang sembuh, dokumen yang diproses, pelanggan yang dilayani, dsb. Ukuran ini berhubungan langsung dengan output yang dikonsumsi oleh pelanggan organisasi.

Efisien (efficiency); Konsep ini didefinisikan sebagai angka pembanding (ratio) atara output dan input. Kriteria jangka pendek ini memusatkan perhatian pada seluruh siklus input-proses-output, namun demikian kriteria ini menekankan unsur input dan proses  Ukuran efisiensi meliputi tingkat laba modal atau harta (rate of return on capital or assets), biaya perunit, sisa dan pembuangan, periode waktu mesin tidak aktif (downtime rate), biaya per pasien, permahasiswa, atau perpelanggan, tingkat okupansi (occupancy rate). Jelaslah ukuran efisiensi harus dinyatakan dalam bandingan, perbandingan antara keuntungan dan biaya atau dengan output atau dengan waktu merupakan bentuk umum dari ukuran rasio efisiensi.

Kepuasan (satisfaction); Kepuasan dan semangat kerja adalah istilah yang serupa, yang menunjukkan sampai seberapa jauh organisasi memenuhi kebutuhan para karyawannya. Ukuran kepuasan meliputi sikap karyawan, pergantian karyawan (turnover), kemangkiran (absenteeism), keterlambatan dan keluhan.
Adaptasi (Adaptiveness); Kemampuan beradaptasi adalah sampai seberapa jauh organisasi dapat menanggapi perubahan intern dan ekstern. Ukuran yang biasa dari kemampuan adaptasi, untuk keperluan riset dapat diperoleh dari jawaban atas daftar pertanyaan (quetionnaires). Ukuran lain yang biasa digunakan dalam mengukur adaptasi ini adalah dengan menggunakan kebijakan yang dapat merangsang kesiap siagaan terhadap perubahan dalam  arti bahwa apakah organisasi dapat atau tidak menyesuaikan diri pada saat terjadi perubahan.

Perkembangan (development); Organisasi harus menginvestasi dalam organisasi itu sendiri untuk memperluas kemampuannya untuk hidup terus (survive) dalam jangka panjang. Usaha pengembangan yang biasa adalah program pelatihan bagi tenaga manajemen dan non-manajemen, tetapi sekarang ini pengembangan organisasi telah bertambah banyak macamnya dan meliputi sejumlah pendekatan psikologis dan sosiologis.

Suatu dikatakan bahwa perkembangan organisasi mencapai keseimbangan yang optimal,  jika keseimbangan dari pencapaian hubungan yang wajar antara kriteria-kriteria itu dalam periode waktu tertentu. Tidak ada hubungan yang tetap antara produksi, kepuasan, dan efisiensi. Hal ini tergantung dari para manajer harus mengetahui hubungan potensial apakah yang ingin mereka pengaruhi, sebelum melaksanakan kebijakan yang dirancang untuk mempengaruhinya.

Semakin jauh waktu yang akan datang, semakin tidak pasti ramalan kita. Ramalan tentang perkembangan di masa akan datang lebih besar penyimpangan yang terjadi dibanding  ramalan perkembangan dalam jangka waktu yang lebih pendek. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa efektivitas relatif jauh lebih mudah ditentukan, jika menggunakan kriteria jangka pendek dibanding kriteria jangka panjang.

2.    Fungsi Manajemen (managerial function)
Pekerjaan manajerial dapat dibagi atas tiga fungsi utama : perencanaan, pengorganisasian, dan pengendalian (Gibson, 1997:35). Dari ketiga fungsi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Merencanakan Hasil Karya yang Efektif (Planning Effective Performance). Fungsi perencanaan mencakup kegiatan menentukan sasaran yang harus dicapai dan menetapkan alat yang sesuai untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Hal ini timbul dari sifat organisasi sebagai badan yang mempunyai tujuan. Hasil yang diharapkan dari kegiatan perencanaan adalah kesepakatan pengertian tentang apa yang harus dicapai oleh para anggota organisasi. Perencanaan dalam hal ini tidak hanya merencanakan tujuan yang dicapai, tetapi juga merencanakan bagaimana cara untuk mencapainya. Setelah alat ditentukan dengan tepat, maka fungsi manajemen selanjutnya adalah mengorganisasikan; (2) Mengorganisasi Hasil Karya Secara efektif (organizing effective performance). Fungsi Pengorganisasian meliputi semua kegiatan manajemen yang dilakukan untuk mewujudkan kegiatan yang direncanakan menjadi suatu struktur tugas dan wewenang. Hubungan antara perencanaan dan pengorganisasian kelihatan dengan jelas, di mana fungsi perencanaan menentukan apa dan bagaimana.  Fungsi pengorganisasian menghasilkan penentuan siapa yakni siapa yang akan melakukannya dan dengan siapa, untuk mencapai hasil akhir yang diinginkan. (3) Mengendalikan Hasil Karya Efektif (controlling efective performance). Fungsi pengendalian mencakup kegiatan yang dilakukan oleh para manajer untuk menjamin bahwa yang betul-betul dicapai,  sesuai dengan hasil yang direncanakan. Secara sederhana bahwa manajer melakukan pengendalian untuk menentukan apakah hasil yang diharapkan telah tercapai, dan jika tidak mengapa. Kegiatan pengendalian adalah kegiatan yang meliputi seleksi karyawan dan penempatannya, pemeriksaan bahan, evaluasi hasil karya, analisis laporan keuangan, dan teknik-teknik manajemen lain yang diakui baik.
 
D.  KESIMPULAN 
Berdasarkan hasil pembahasan tersebut di atas, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
  1. Organisasi yang didirikan karena memiliki tujuan yang dicapai oleh anggotanya atau orang-orang yang terlibat di dalamnya.
  2. Untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, organisasi diperhadapkan dengan faktor eksternal atau faktor yang sulit dikendalikan (unpredictable) dan faktor internal yaitu faktor yang dapat dikendalikan (predictable).
  3. Efektivitas organisasi dapat di lihat dari 3 faktor yaitu efektivitas organisasi, kelompok dan individu dalam mencapai tujuan organisasi.
  4. Fungsi-fungsi manajemen dalam organisasi merupakan faktor-faktor yang paling menentukan (managerial function) bagi suatu organisasi dalam mencapai sasaran yang telah direncanakan, meliputi: perencanaan, pengorganisasian, dan pengendalian.
DAFTAR PUSTAKA
Cascio, Wayne. F, 1992. Managing Human Resources Productivity, Quality of Work Life, Profit, McGraw-Hill Companies, Inc, New York. 
Denison, Daniel. 1990c. “What is the Difference Between Organizational Culture and Organizational Climate? A Native’s Point of View on Decade of Paradigm Wars”. http://www.denisonculture.com.

Gibson, James L. John M. Ivancevich, James H.Donnely, Jr. 1997.Organisasi dan Manajemen, Perilaku, Struktur, Proses, Edisi Ke Empat, Penerbit : Erlangga, Jakarta.

Harris, Michael, 2000. Human Resources Management. Second Edition. The Dryden Press.USA.

Hatch, Mary Jo. 1997. Organization Theory. New York: Oxford University Press.

Hofstede, Geert. 2001. Culture’s Consequences. Second Edition. London: Sage Pub.

Lundberg, Craig C. 1996. “Managing in a Culture that Values Learning”, dalam Steven Cavaleri & David Fearon (eds.), Managing in Organizations that Learn, hlm. 491-508. Massachusetts: Blackweel Publishers.

Marquardt, Michael & Reynolds, Angus. 1994. The Global Learning Organization. NewYork: Richard D. Irwin.

Milkovich, George T and Boudreau, Jhon W, 1997. Human Resources Management. Eighth Edition. Times Mirror Higher Education Group Inc.

Mondy, Noe and Premeaux, 1999. Human Rersources Management, Seventh Edition Prentice Hall Me. Inc, USA.

Ryan, Stephanie. 1995. “Learning Communities: An Alternative to the “Expert Model”, dlam Sarita Chawla & John Renesch (eds.), Learning Organizations: Developing Cultures for Tomorrow’s Workplace, hlm. 279-291.Oregon: Productivity Press.

Robin, Stephen P. 2007. Perilaku Organisasi, Edisi ke Sepuluh, Prentice Hall, Pearson Education International, PT Indeks.

Schein, Edgar H. 1985. Organizational Culture and Leadership. San Fransisco: Jossey-Bass.

Sofjan Assauri, 2000. Strategi Manajemen Sumber Daya Manusia. (Artikel Usahawan). Lembaga Manajemen FE-UI, Jakarta.

Werther, William B and Davis, Keith. 1996. Human Resources and Personel Management. Eight Edition. Me Graw- Hill Inc, USA.



1 komentar: