SELF YANG DAPAT MEMBENTUK ILMU PENGETAHUAN HOLISTIK
Manusia Dan Kehidupannya.
Manusia di dalam menjalani kehidupan mempunyai tujuan yang lebih tinggi dari sekedar kehidupannya. Inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga mendorong manusia menjadi mahkluk yang bersifat khas di muka bumi ini, yang mampu berpikir dan menalar.
Dengan berpikir dan menalar dapat ditimbulkan dari diri manusia yang sehat baik rohani maupun jasmani. Pada setiap diri manusia terdapat potensi-potensi untuk menjadi sehat dan tumbuh secara kreatif. Kegagalan dalam mewujudkan potensi-potensi ini disebabkan oleh pengaruh yang bersifat menjerat dan keliru dari latihan yang diberikan oleh keluarga dan sedikit banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Namun pengaruh positif dan negatif dapat diatasi apabila manusia (individu) mau menerima tanggung jawab untuk hidupnya sendiri.
Menurut Rogers (1974), apabila tanggung jawab di atas diterima maka akan segera melihat kalau represi dan tekanan sesamanya yang meliputi keseluruhan dunia dapat dicegah akan muncul seorang pribadi baru yang penuh kesadaran, mengarahkan dirinya sendiri, seorang penjelajah dunia batin lebih daripada dunia lluar, yang memandang rendah sikap serta tunduk pada kebiasaan-kebiasaan dan dogma tentang otoritas.
Manusia mampu menalar, artinya berpikir secara logis dan anallitis, karena kemampuan menalar dan mempunyai bahasa untuk mengomunikasikan hasil pemikiran yang abstrak (Berger dan Luckmann, 1967), maka manusia bukan saja mempunyai ilmu pengetahuan, melainkan juga mampu mengembangkannya. Ilmu pengetahuan itu diperoleh manusia bukan hanya dengan penalaran, melainkan juga dengan kegiatan berpikir lainnya., dengan perasaan dan intuisi (Suriasumantri, 1993). Ilmu pengetahuan juga dapat diperoleh lewat wahyu. Induksi dan deduksi merupakan inti penalaran logika empiris. Kegiatan berpikir ilmiah ini menggunakan baik teori koherensi maupun teori korespondensi dalam menetapkan kebenaran ilmu pengetahuan.
Proses kegiatan ilmiah menurut Ritchie Calder (1955) dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Tentu saja hal ini membawa kita kepada pertanyaan lain mengapa manusia mulai menjawab sesuatu? Kalau ditelah lebih lanjut, ternyata bahwa kita mulai mengawasi obyek tertentu bila kita mempunyai perhatian khusus terhadap obyek yang oleh Jhon Dewey dalam Suriasumantri (1993) dinamakan sebagai suatu masalah atau kesukaran yang dirasakan bila menemukan sesuatu dalam pengalaman kita yang menimbulkan pertanyaan. Pertanyaan ini timbul disebabkan oleh kontak manusia dengan dunia empiris yang menimbulkan berbagai ragam permasalahan. Dapat disimpulkan bahwa karena ada masalah maka proses kegiatan berpikir dimulai dan karena masalah ini berasal dari dunia empiris maka proses berpikir itu diarahkan pada pengamatan obyek yang bersangkutan, yang bereksistensi dalam dunia empiris. Dengan cara inilah manusia mendapatkan ilmu pengetahuan dari berbagai sumber sebagai jawaban atas permasalahan yang dihadapi.
Self (Diri) Dan Ilmu Pengetahuan.
Self. Sebagian dari medan fenomenal lama-kelamaan menjadi terpisah. Inilah self. Self, atau konsep self, tidak terlepas dari organisme. Menurut Rogers (1959), self merupakan gestalt konseptual yang terorganisasi dan konsisten yang terdiri dari persepsi-persepsi tentang sifat-sifat dari ‘diri obyek’ dan persepsi hubungan-hubungan antara ‘diri subyek’ atau ‘diri obyek’ dengan orang-orang lain dan dengan berbagai aspek kehidupan beserta nilai-nilai yang melekat pada persepsi-persepsi ini. Gestalt ada dalam kesadaran meskipun tidak harus disadari. Gestalt bersifat lentur dan berubah-ubah, merupakan suatu proses, tetapi setiap saat merupakan suatu entitas spesifik.
Optimisme adalah lokus atau tempat dari seluruh pengalaman. Pengalaman meliputi segala sesuatu yang secara potensial terdapat dalam kesadaran organisme pada setiap saat. Keseluruhan ini merupakan medan fenomenal. Medan fenomenal adalah frame of reference dari individu yang hanya dapat diketahui oleh orang itu sendiri. Medan fenomenal tidak dapat diketahui oleh orang lain, kecuali melalui inferensi, empati, dan selanjutnya tidak pernah dapat diketahui dengan sempurna, Bagaimana individu bertingkah laku tergantung pada medan fenomenal itu (kenyataan subyektif) dan bukan pada keadaan perangsangnya. (kenyataan luar).
Pentingnya konsep-konsep struktural, yakni organisme dan self, dalam teori Rogers, menjadi jelas dalam pembicaraannya tentang kongruensi dan inkongruensi antara diri sebagaimana dipersepsikan dan pengalaman aktual organisme. Apabila pengalaman-pengalaman yang dilambangkan membentuk diri benar-benar mencerminkan pengalaman-pengalaman organisme maka orang yang bersangkutan disebut berpenyesuaian baik, matang, dan berfungsi sepenuhnya. Orang semacam itu menerima seluruh pengalaman organismis tanpa merasakan ancaman atau kecemasan. Ia mampu berpikir secara realistis. Inkongruensi antara diri organisme menyebabkan individu-individu merasa terancam dan cemas. Mereka bertingkah laku serba defensif dan cara berpikir mereka menjadi sempit dan kaku.
Organisme mempunyai satu kecenderungan dasar dan kerinduan dasar, yakni mengaktualisasikan, mepertahankan, dan mengembangkan organisme yang alami. Kecenderungan untuk mengaktualisasi ini bersifat selektif, menaruh perhatian hanya pada aspek-aspek lingkungan yang memungkinkan orang bergerak secara konstruktif untuk pemenuhan dan kebulatan. Di satu pihak terdapat satu kekuatan yang memotivasi yakni dorongan untuk mengaktualisasikan diri, di lain pihak hanya ada satu tujuan hidup, yakni menjadi pribadi yang teraktualisasikan dirinya atau pribadi yang utuh.
Menurut Roders, dalam mengaktualisasikan diri tetap pada fenomologisnya dengan selalu menggunakan frase “sebagaimana dialami” dan “sebagaimana dipersepsika”. Akan tetapi membicarakan proposisi ini, Roders mengakui kebutuhan-kebutuhan itu tidak dialami secara sadar. Kondisi tersebut telah mengurangi peran kesadaran atau kesadaran diri individu berfungsi secara sehat. Dalam pribadi yang berfungsi dengan baik, kesadaran cenderung menjadi sesuatu yang reflektif, bukan sebagai lampu sorot tajam dengan fokus yang terpusat. Mungkin lebih tepat kalau dikatakan bahwa dalam pribadi yang demikian kesadaran hanya merupakan refleksi tentang sesuatu dari aliran organisme pada saat itu. Hanya ketika fungsi terganggu maka kemudian timbul kesadaran diri dengan jelas. Meskipun organisme diri mempunyai tendensi inheren untuk mengaktualisasikan diri, namun sangat mudah dipengaruhi oleh lingkungan dan khususnya oleh lingkungan sosial.
Dalam hubungan-hubungan tertentu yang aman, perasaan-perasaan yang selama ini mengancam, kini dapat diasimilasikan ke dalam struktur diri. Asimilasi ini mungkin membutuhkan reorganisasi dalam konsep diri supaya sejalan dengan realitas pengalaman organismik. Ia akan menjadi lebih bersati dengan dirinya sendiri sebagai organisme.
Faktor-faktor jiwa merupakan kunci menuju apa yang dikenal dengan karma yang merupakan suatu istilah teknis untuk prinsip bahwa setiap perbuatan dimotivasikan oleh keadaan-keadaan jiwa yang melatarbelakanginya. Suatu tingkah laku tertentu pada hakikatnya secara moral adalah netral. Sifat moral tingkah laku tersebut tidak dapat ditentukan tanpa mempertimbangkan motif-motif yang melatarbelakngi self untuk melakukan sesuatu perbuatan. Perbuatan-perbuatan seseorang yang memiliki campuran negatif faktor-faktor jiwa orang yang berbuat, misalnya, karena kebencian atau kerakusan adalah jahat meskipun perbuatan itu sendiri di mata orang lain tak dapat disebut baik atau buruk.
Seperti yang diutarakan oleh Abhidhamma, dalam Calvin (1997), segala sesuatu yang terdapat pada diri kita merupakan akibat dari apa yang telah dipikirkan, yakni berdasarkan pikiran kita dan dibentuk oleh pikiran kita. Apabila seseorang berbicara atau bertindak dengan pikiran jahat maka perasaan sakit akan mengikutinya, sama seperti roda yang mengikuti kaki lembu yang menghela gerobak. Apabila seseorang berbicara atau bertindak dengan pikiran yang murni maka kebahagiaan akan mengikutinya, sama seperti bayang-bayang yang tidak pernah meninggalkannya.
Lebih jauh dorongan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak pikiran diilhami oleh adanya dimmensi rohani. Menurut al-Ghazali dalam Syukur (1999), dimensi rohani manusia mempunyai empat kekuatan, yakni qalb, ruh, nafs, dan akal. Keempat unsur ini ditinjau oleh al-Ghazali secara fisik dan psikis, antara lain:
§ Qalb berarti segumpal daging yang berbentuk bundar memanjang, terletak di pinggir kiri dalam dada. Di dalamnya terdapat lobang-lobang. Lobang-lobang ini diisi dengan darah hitam yang merupakan sumber dan tambang dari nyawa. Secara psikis qalb berarti sesuatu yang halus, rohani, yang berasal dari alam ketuhanan. Qalb dalam pengertian kedua ini disebut hakikat manusia. Dialah yang merasa, mengetahui, dan mengenal serta yang diberi beban, disiksa, dicaci, dan sebagainya. Hakikat qalb tidak dapat diketahui.
§ Ruh secara biologis ialah tubuh halus yang bersumber pada lobang qalb, yang tersebar ke seluruh tubuh dengan perantaraan urat-urat. Sedangkan pengertian kedua ialah sesuatu yang halus yang mengetahui dan merasa. Roh yang mempunyai kekuatan inilah yang tidak dapat diketahui hakikatnya.
§ Nafs adalah kekuatan yang menghimpun sifat-sifat tercela pada manusia, yang harus dilawan dan diperangi. Nabi Muhammad SAW bersabda “Musuhmu yang paling besar ialah nafsumu yang berada di antara dua lambungmu.” Sedangkan pengertian kedua ialah hakikat manusia yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhiraat. Ia disifati dengan berbagai sifat sesuai dengan keadaannya. Apabila tenang dan jauh dari kegoncangan, yang menentang nafsu syahwatiyah, maka disebut nafsu muthma’innah. Apabila keadaan kurang sempurna ketenangannya, akan tetapi dia mencela dan menegur kepada dirinya sendiri manakala teledor untuk berbuat tidak baik, maka disebut nafsu lawwamah. Kemudian apabila nafsu tunduk dan patuh terhadap nafsu syahwat dan panggilan setan, maka dinmakan nafsu ammarah, yang mengajak pada kejahatan.
§ Akal ialah pengetahuan tentang hakikat segala keadaan. Akal itu ibarat sifat-sifat ilmu yang tempatnya di hati. Pengertian kedua ialah memperoleh pengetahuan itu dan itu adalah hati.
Rohani tersebut dilengkapi dengan beberapa alat kelengkapan lahir dan batin. Yang lahir adalah pancaindera yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi rohani, yakni beribadah kepada Allah SWT. Sifatnya taat terhadap setiap yang dikehendaki rohani.
Kelengkapan batin bersifat pembangkit dan pendorong, penggerak anggota badan, serta mengenal dan mengetahui segala sesuatu yang sangat diperlukan dalam pengembangan ilmu penngetahuan. Antara kelengkapan lahir dan batin mempunyai hubungan yang erat.
Menurut beberapa pihak, keberadaan logika bersifat kontroversial, meski keduanya tidak bersifat empiris, tidak harus keduanya bersifat metafisis. Oleh karena itu logika merupakan ilmu pengetahuan yang berdasar pada inferensi dan generalisasi yang sah, dan merupakan ilmu pengetahuan yang berdasar pengetahuan alam dan terbatas. Selain itu prinsip-prinsip metodologi keilmuan sebagai ide revolusioner pada epistemologi, “keilmuan yang obyektif” tidak tergantung pada subyek.
Secara garis besar, dalam ilmu pengetahuan terdapat hubungan antara subyek dengan obyek kesadaran, antara ilmuwan dengan pengetahuan alam dengan batasan pengetahuan. Kondisi itu membeikan arti bagaimanakah cara memperoleh ilmu pengetahuan yang holistik secara praktis maupun secara empiris.
Ilmu Pengetahuan Yang Holistik. Pengetahuan merupakan suatu kata yang digunakan untuk menunjukan apa yang diketahui oleh seseorang tentang sesuatu. Menurut Rapar (1996), ilmu pengetahuan senantiasa memiliki subyek, yakni yang mengetahui, karena tanpa ada yang mengetahui tidak mungkin ada ilmu pengetahuan. Jika ada subyek pasti ada pula obyek, yakni sesuatu yang ihwalnya diketahui atau hendak diketahui. Tanpa obyek, tidak mungkin ada ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan kebenaran karena demi mencapai kebenaran ilmu pengetahuan itu eksis. Kebenaran ialah kesesuaian pengetahuan dengan obyeknya. Ketidaksesuaian pengetahuan dengan obyeknya disebut kekeliruan. Suatu obyek yang diketahui senantiasa memiliki begitu banyak hal atau aspek yang akan diungkap secara serentak. Kenyataannya, manusia hanya mengetahui beberapa aspek dari obyek yang dilihat, sedangkan yang lain tetap tersembunyi baginnya. Dengan demikian jelas bahwa amat sulit untuk mencapai kebenaran yang lengkap dari obyek tertentu, apalagi mencapai seluruh kebenaran dari segala sesuatu yang dapat dijadikan obyek pengetahuan. Lebih lanjut Rapar mengatakan bahwa ilmu pengetahuan dapat dipilah menjadi tiga jenis, yaitu:
§ Pengetahuan biasa yang terbagi menjadi dua, yaitu pengetahuan nir-ilmiah dan pengetahuan pra-ilmiah.
§ Pengetahuan ilmiah yang diperoleh melalui penggunaan metode ilmiah; dan
§ Pengetahuan filsafati yang diperoleh lewat pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman, penafsiran, spekulasi, penilaian kritis, dan pemikiran yang logis, analitis, dan sistematis.
Melihat uraian tersebut maka ilmu pengetahuan yang holistik merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah teruji secara empiris. Dalam hal ini harus disadari bahwa proses pembuktian dalam ilmu tidaklah bersifat absolut. Prosedur untuk mendapat ilmu ialah yang disebutkan dengan metode keilmuan, yang langkah-langkahnya adalah perumusan masalah, penyusunan kerangka berpikir, pengajuan hipotesis, pengujian hipotesis, dan penarikan kesimpulan. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah (Suriasumantri, 1993).
Berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan. Metode ilmiah merupakan eksperi mengenai cara kerja pikiran. Dengan cara kerja ini maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah, yaitu sifat rasional yang teruji. Tubuh pengetahuan yang tersusun merupakan ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan. Dalam hal ini metode ilmiah mencoba menggabungkan cara-cara berpikir deduktif dan induktif dalam membangun tubuh ilmu pengetahuan.
Karena masalah yang dihadapi nyata maka ilmu pengetahuan mencari jawaban pada dunia nyata pula. Ilmu pengetahuan dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, apapun teori yang menjembatani antara keduanya. Teori yang dimaksud di dunia fisik tersebut merupakan abstraksi intelektual dengan pendekatan secara rasional yang digabungkan dengan pengalaman empiris. Di sinilah pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris dalam langkah-langkah yang disebut metode ilmiah. Secara sederhana hal ini berarti bahwa semua metode ilmiah harus memenuhi syarat utama, yakni:
§ Harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadiny kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan, dan
§ Harus sesuai dengan fakta-fakta empiris, sebab teori bagaimanapun konsistensinya kalau tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara logika induktif. Yang rasional dan empiris hidup berdampingan dalam sebuah sistem dengan mekanisme korektif.
Ilmu pengetahuan bersifat konsisten karena penemuan yang satu didasarkan pada penemuan-penemuan sebelumnya. Sebenarnya balum satupun dari seluruh disiplin keilmuan yang berhasil menyususn teori yang konsisten dan menyeluruh. Teori-teori masih merupakan penjelasan yang sebagian bersifat sesuai dengan sikap perkembangan keilmuan yang masih sedang berjalan. Demikian pula dengan jalur perkembangan ilmu. Belum dapat dipastikan apakah kebenaran yang sekarang diterima secara ilmiah akan benar pula di masa yang akan datang. Sifat pragmatis dari ilmu pengetahuan inilah yang sebenarnya merupakan kelebihan dan sekaligus kekurangan dari hakikat ilmu pengetahuan. Sifat pragmatis dari ilmu pengetahuan adalah sesuai dengan perkembangan peradaban manusia yang telah terbukti secara nyata dalam membangun peradaban tersebut.
Inilah yang terlihat sebagai keterbatasan yang dimiliki ilmu pengetahuan. Namun demikian kekurangan bukanlah alasan unntuk eksistensi ilmu pengetahuan dalam kehidupan kita. Mereka yang bersungguh-sungguh berilmu adalah yang mengetahui kelebihan dan kekuarangan ilmu pengetahuan. Dasar itulah yang menjadi alasan diterimanya ilmu pengetahuan sebagaimana adanya, mencintai dengan bijaksana serta menjadikannya sebagai bagian dari kepribadian dan kehidupannya. Hal inilah yang dinamakan ilmu pengetahuan yang holistik. Tanpa kesadaran akan hal itu maka kita hanya akan kembali kepada ketidaktahuan dan kegersangan seperti yang disyairkan oleh Bryon dan Monfred dalam Suriasumantri (1993), bahwa ilmu pengetahuan tidak tidak membawa kebahagiaan dan ilmu pengetahuan hanyalah sekedar bentuk lain dari ketidaktahuan.
Manusia senantiasa ingin tahu apa yang hendak diketahuinya atau dengan kata lain apa obyek tahu itu. Sebelum ia tahu, ia kagum atas hal yang ada di sekelilingnya. Hal itu merangsang dia lalu menimbulkan keinginannya untuk tahu. Adapun yang mengelilingi dia adalah dunia seisinya, yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, asal ada. Bahkan yang sekarang ini tidak ada akan tetapi tidak mengandung kemustahilan akan ada. Jadi yang mungkin ada itupun ingin diketahui. Menurut Popper (1989), untuk memenuhi keingintahuannya maka pertama-tama menggunakan pancainderanya. Indera inilah yang pertama-tama bersentuhan dengan alam. Dalam hal ini manusia tidak pasif. Ia mengadakan reaksi. Reaksi dari pihak manusia adalah tahu dan dicetuskan dengan keputusan. Dengan demikian harus dikatakan bahwa pengalaman semata-mata bukanlah pengetahuan yang sebenarnya, melainkan hanya memungkinkan pengetahuan. Pengetahuan sebenarnya baru ada jika manusia demi pengalamannya mengadakan keputusan atas obyeknya.
Orang yang tahu disebut mempunyai pengetahuan. Jadi pengetahuan tidak lain adalah hasil tahu. Dalam pengetahuan ada pengakuan sesuatu terhadap sesuatu. Ada dua dua sesuatu dalam keputusan, sehingga keputusan selalu ada bagiannya, yaitu yang menjadi dasar pengakuan yang diakui oleh subyek itu namanya predikat. Sebagai contoh, segitiga itu lancip, hanya berlaku pada segitiga yang satu itu. Lain halnya “segitiga itu jumlah sudutnya 180 derajat”. Berlaku untuk segitiga manakah segitiga itu? Bukan untuk segitiga tertentu melainkan untuk semua segitiga. Ternyata sifat keputusan tentang segitiga bereda. Keputusan segitiga itu lancip adalah khusus, sedangkan keputusan segitiga jumlah sudutnya 180 derajat adalah bersifat menyeluruh. Kedua macam keputusan itu mengutarakan ilmu pengetahuan.
Self Dan Ilmu Pengetahuan
Tuntutan yang muncul akibat modernisasi dan industrialisasi ialah adanya pengembangan kemampuan intelektual sehingga memiliki kemampuan dialogis dan fungsional terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Syukur (1999), secara epistemologi, tasawuf memakai metode intuitif, yang pada abad ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dari rasionalisme dan empirisme yang membantunya untuk melakukan terobosan baru dalam berbagai hal.
Intuisi merupakan salah satu tipe pengetahuan yang memiliki watak lebih tinggi daripada pengetahuan indera atau akal. Diakui bahwa arah intuisi itu berbeda, karena akal maupun indera merupakan instrumen yang lebih berkompoten untuk menghadapi obyek-obyek materi serta hubungan-hubungan kuantitatif.
Intuisi sebagai naluri yang menjadi kesadaran diri manusia dapat menuntun pada kehidupan (immateri). Bahkan jika intuisi dapat meluas dan mendominasi manusia, ia dapat memberi petunjuk dalam hal-hal yang vital yang oleh Bergson disebut elan vital, yaitu dorongan rohani dari dalam dan langsung (Titus dalam Syukur, 1999).
Apabila dilihat dari self dan ilmu pengetahuan yang holistik, David Truebood menjelaskan bahwa paling tidak ada tiga hal yang harus dipenuhi agar ilmu pengetahuan itu menyeluruh dan dapat diterima, yaitu:
§ Pertama, moralitas subyek. Maksudnya, karena ilmu pengetahuan dapat dikategorikan pada pengetahuan tingkat ilmiah yang lebih tinggi, maka sandaran yang lebih kuat adalah moralitas penerima pengetahuan itu, sebab tidak setiap manusia dapat mengikuti penyelidikannya secara tuntas.
§ Kedua, akal sehat. Artinya, untuk menilai kevalidan ilmu pengetahuan pada seseorang, maka dapat ditinjau dari sudut penalaran akal sehat, adalah fakta-fakta pengetahuan itu dapat dinalar atau tidak, sebab pada akhirnya kita harus kembali pada akal, karena akal merupakan hakim terakhir.
§ Ketiga, keahlian diri sebagai subyek secara tepat. Mengingat pengetahuan bukan merupakan pengetahuan pada umumnya, maka untuk menilai tingkat kebenarannya secara menyeluruh harus melihat pada subyek penerima/yang menjalankanya, adakah ia memiliki keahlian dan berkompeten pada disiplin pengetahuan itu atau tidak. Lebih lanjut, bahwa ilmu pengetahuan yang baik keluar dari intuisi orang-orang yang sudah berpengalaman dan lama berkecimpung dalam bidang tertentu, sebab fungsi metodologi maupun sistematika berpikirnya yang berupa logika tidak untuk memimpin pikiran kita agar bekerja setelah pikiran dihadapkan pada obyeknya, melainkan untuk mempertajam pikiran kita sebelum memulai penyelidikan.
Kondisi tersebut apabila ditinjau dari aspek manusianya (self), maka penalaran dan intuisi merupakan suatu kesadaran yang tinggi dalam self (diri). Menurut Hossein Nasr (1997), bahwa manusia “suci” sadar akan perannya sebagai perantara antara surga dan bumi dan entelechy-nya seperti melebihi wilayah teritorialnya, yang membuat senantiasa sadar akan kefanaan perjalanannya di bumi. Manusia seperti hidup dalam kesadaran realitas spritual yang mentransendensikannya dan yang belum pernah ada selain daripada realitas batinnya sendiri melawan apa yang tidak bisa dilawan, sehingga manusia hidup diresapkan pada makna akan alam semesta.
Apabila dilihat dari realita bahwa ilmu pengetahuan mulai berkembang pada tahap ontologis, manusia berpendapat bahwa terdapat hukum-hukum tertentu yang terlepas dari kekuasaan mistis, yang menguasai gejala-gejala empiris. Dalam tahap ini manusia (self) mulai mengambil jarak dari obyek sekitar, tidak seperti yang terjadi dalam dunia mistis, di mana semua obyek berada dalam kesemestaan yang bersifat difus dan tidak jelas batas-batasnya. Self mulai memberikan batas-batas yang jelas kepada obyek kehidupan tertentu yang terpisah dengan eksistensi self sebagai subyek yang mengamati dan yang menelaah obyek tersebut. Dalam menghadapi masalah tertentu, self mulai menetukan batas-batas eksitensi masalah tersebut, yang memungkinkan self mengenal wujud masalah itu, untuk kemudian menelaah dan mencari pemecahan jawabannya.
Dalam usaha memecahkan masalah tersebut maka ilmu pengetahuan tidak berpaling kepada perasaan (intuisi) melainkan kepada pemikiran yang berdasarkan penalaran. Ilmu pengetahuan mencoba mencari penjelasan mengenai permasalahan yang dihadapinya. Bila mengerti hakikat permasalahan yang dihadapi maka dia dapat memecahkannya. Dalam hal ini pertama-tama ilmu pengetahuan menyadari bahwa masalah yang dihadapinya adalah masalah yang bersifat konkret yang terdapat dalam dunia nyata, sehingga secara ilmu pengetahuan, masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang terdapat pada ruang jangkauan pengalaman manusia (Suriasumantri, 1993). Hal ini harus kita sadari karena inilah yang memisahkan daerah ilmu pengetahuan dengan agama. Agama berbeda dengan ilmu pengetahuan karena juga mempermasalahkan obyek-obyek yang berada di luar pengalaman self, baik sebelum manusia ini berada di muka bumi sebagaimana manusia diciptakan maupun sesudah kematian manusia, seperti yang terjadi setelah adanya kebangkitan kembali. Perbedaan antara lingkup permasalahan yang dihadapi juga menyebabkan perbedaan metode. Ini harus diketahui dengan benar untuk dapat menempatkan ilmu pengetahuan dan agama dalam perspektif yang sesungguhnya. Tanpa mengetahui hal ini maka mudah sekali bagi kita untuk terjatuh dalam kebingungan. Padahal dengan menguasai hakikat ilmu pengetahuan dan agama secara baik akan memungkinkan ilmu pengetahuan lebih sempurna, karena kedua pengetahuan itu justru saling melengkapi. Pada satu pihak agama akan memberikan landasan moral bagi aksiologi keilmuan, sedangkan di pihak lain ilmu akan memperdalam keyakinan beragama.
Apabila ditinjau lebih jauh, bahwa ilmu pengetahuan, sesuai dengan obyek yang dilihat, adalah kenyataan (reality). Kenyataan menunjukan kepada sesuatu yang lebih luas, tidak hanya dari sekedar ada (real). Ilmu pengetahuan yang holistik merupakan ilmu pengetahuan yang menyeluruh dan mempunyai paradigma tertentu, yang merupakan ilmu pengetahuan yang harus menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi, bagaimana seharusnya menjawab serta aturan-aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan informasi yang dikumpulkan untuk menjawab persoalan tersebut.
Al Ghazali menginerpretasikan Al-Qur’an tentang nafsu ammarah, lawwamah, dan mutma’innah. Ketiga nafsu tersebut dihubungkan dengan kesadaran sehingga terdapatlah kesadaran inderawi (ammarah) yang terendah, kesadaran akal (lawwamah) yang pertengahan dan kesadaran rohani (mutma’innah) yang tertinggi. Selain itu Nataatmadja menarik implikasi dari teori Al-Ghazali itu dan sampai pada kesimpulan bahwa rasa lebih unggul daripada rasio. Inipun bila dipandang dari kaca mata ilmu pengetahuan holistik, bahwa kesadaran inderawi dan kesadaran akali merupakan suatu kenyataan yang secara real memang ada, seperti halnya yang dikemukakan oleh Plato, bahwa dunia jasmani (inderawi) hanya berdiri atau berada sebagai relaitas dan sejauh dunia ini merupakan partisipasi dunia rohani. Plato menganggap bahwa dunia atau dunia idea merupakan relaitas sejati atau dalam bahasa Yunani ontoos on yang berarti sungguh-sungguh ada. Dunia jasmani itu sebenarnya hanya semu atau bayang-bayang dari realitas sesungguhnya.
Perpaduan antara yang inderawi dengan idea dalam konsep dapat menimbulkan tiga kemungkinan utama, yakni:
§ Daya intelektual yang merupakan daya tertinggi manusia yang dapat berfungsi maksimal dan mampu mengendalikan dua kesadaran lainnya. Ini merupakan manusia muslim yang disebut al-nafs al-mutma’innah (QS. Al-Fajr ayat 29-30).
§ Daya intelektual manusia yang mampu mengontrol dua kesadaran lainnya dan terkadang sebaliknya. Ini adalah manusia labil yang disebut al-nafs al-lawwamah yang ditempati oleh kebanyakan manusia (QS. Al-Qiyamah ayat 2).
§ Daya intelektual manusia yang selalu dikalahkan oleh dua daya lainnya. Inilah sejelk-jelek manusia yang disebut al-nafs al-ammarah bi al-su (QS. Yusuf ayat 53). Bahkan manusia ini lebih buruk dari pada hewan (QS. Al-Furqon, ayat 44).
Hubungannya dengan pembentukan ilmu pengetahuan holistik, perbuatan manusia secara nyata merupakan hasil pemikiran secara realitas antara kesadaran inderawi dan akali menjadi satu kesatuan yang seimbang sehingga manusia yang memikirkannya termasuk al-nafs al-mutma’innah. Lebih lanjut, suatu pengetahuan yang bersifat analitis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang tertengguk dalam pengalaman self, maka pembatasan adalah perlu. Pembatasan ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian keilmuan. Pembatasan ini harus operasional dan merupakan pengkajian teoritis. Kedua pembatasan tersebut dapat disimpulkan “keadaan sebagaimana adanya”, bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”. Keadaan sebagaimana adanya adalah pembatasan yang mendasari telaah ilmiah, dan bagaimana keadaan yang seharusnya adalah asumsi yang mendasari telaah moral. Uraian tersebut membawa kepada implikasi bahwa ilmu pengetahuan holistik memberikan pembatasan terhadapnya, yaitu mengenai perilaku yang dipancarkan oleh self sebagai subyek tersebut.
Berdasarkan pada uraian terdahulu maka dapat diintisarikan bahwa self yang dapat membentuk ilmu pengetahuan yang holistik adalah self yang dapat mengontrol dan menaklukan nafsu al-ammarah sehingga tidak menjadi liar dan terkendali. Hal ini berkaitan dengan kebenaran secara keseluruhan, secara universal yang dapat diperoleh secara intuitif melalui akal dan realitas.
.......
Pustaka:
Soetriono dan Hanafie (2007), Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian, Andi Yogyakarta.