POWER and POLITIC
(DALAM KAJIAN TEORI)
Latar
Belakang
Pentingnya struktur dalam organisasi
yang salah satu visualisasinya adalah bagan organisasi. Struktur tersebut juga
merupakan pembeda antara organisasi formal dan informal. Di mana di dalam
struktur tersebut, menggambarkan pengaturan, penugasan, kepada semua orang,
sehingga setiap orang punya peran masing-masing sesuai dengan posisi dalam
organisasi.
Di
sisi lain, individu-individu di dalam organisasi relatif
beragam berkaitan dengan sikap,
kepribadian dan motivasi. Setiap
Individu jarang sekali bergabung dalam suatu korporasi hanya dengan tujuan
bekerja dalam rangka mencapai tujuan perusahaan tempat dia bekerja. Tapi setiap
Individu juga mempunyai keberagaman motivasi, tujuan dan kepentingan pribadi
yang harus dicapainya.
Kekuasaan
dan politik dalam manajemen merupakan anak kembar yang tak terpisahkan, karena
yang satu tidak dapat hidup tanpa yang lain. Para
manajer jaman sekarang harus mempelajari segi-segi pokok dalam kekuasaan dan
politik, jika mereka mau hidup terus dan berhasil. Mereka harus belajar tentang garis-garis kekuasaan, menggunakan teknik-teknik politik, dan menggunakan kekuasaan dan teknik-teknik politik secara efektif dalam karier mereka.
manajer jaman sekarang harus mempelajari segi-segi pokok dalam kekuasaan dan
politik, jika mereka mau hidup terus dan berhasil. Mereka harus belajar tentang garis-garis kekuasaan, menggunakan teknik-teknik politik, dan menggunakan kekuasaan dan teknik-teknik politik secara efektif dalam karier mereka.
Identifikasi Masalah
Sehubungan
dengan uraian yang telah dikemukakan, maka tulisan ini, mencoba menjawab
beberapa pertanyaan pokok diantaranya
1. Apa
yang di maksud dengan power dalam konteks organisasi dan mengapa para manajer
memerlukannya ?
2.
Apa hubungan antara power, otoritas
formal, dan kepatuhan (obedience)
?
3. Bagaimana
para manajer memperoleh power yang diperlukan agar suatu pekerjaan dilakukan ?
4. Apa
yang dimaksud dengan empowerment dan
bagaimana manajer dapat memberi kuasa atau meng-empower pihak lain ?
5. Apakah
politik organisasional merupakan suatu keharusan (inevitable) dan apakah seorang manajer hidup dalam dunia politik
?
6. Bagaimana
politik organisasional berbeda-beda bagi individual
supervisor, middle manager, dan chies
executive officer ?
7. Dapatkah
power dan politik dalam suatu organisasi di anggap sebagai sesuatu yang memang
seharusnya ada dan etis ?
Tujuan Penulisan
Sesuai dengan permasalahan yang
disampaikan, maka tujuan penulisan adalah untuk :
1. Menjelaskan
power dalam konteks organisasi dan mengapa para manajer memerlukannya.
2. Menjelaskan
hubungan antara power, otoritas formal, dan kepatuhan (obedience).
3. Menjelaskan
bagaimana para manajer memperoleh power yang diperlukan agar suatu pekerjaan
dilakukan.
4. Menjelaskan
maksud empowerment dan bagaimana
manajer dapat memberi kuasa atau meng-empower
pihak lain.
5. Menjelaskan
apakah politik organisasional merupakan suatu keharusan (inevitable) dan apakah seorang manajer hidup dalam dunia politik.
6. Menjelaskan
politik organisasional berbeda-beda bagi individual
supervisor, middle manager, dan chies
executive officer.
7. Menjelaskan
power dan politik dalam suatu organisasi di anggap sebagai sesuatu yang memang
seharusnya ada dan etis.
Power
Power
merupakan sesuatu yang penting di lingkup manajerial. Power adalah kemampuan
menyuruh orang lain melakukan apa yang kita ingin untuk mereka lakukan. Power
berbeda dengan pengaruh (influence).
Pengaruh adalah suatu respon yang berupa tindakan atas digunakannya power.
Sumber power dan proses mempengaruhi dapat dilihat dalam gambar berikut ;
Gambar 1. Power Source and Influence process
Sumber :
Schermerhorn Jhon R, Jr, James G, Hull dan Richard N Osborn.2005. Organizational
Behavioral.Jhon wiley & Sons,Inc P.465
Berdasarkan
gambar di atas, power di lingkup manajerial diperoleh dari dua sumber, yaitu: power position dan personal power. Position power merupakan power yang diperoleh
seorang manajer karena posisinya sebagai manajer dalam suatu organisasi. Power
position memiliki tiga sumber, yaitu :
Reward power adalah level dimana seorang manajer
dapat menggunakan rewards yang bersifat
ekstrinsik dan intrinsik untuk mengkontrol orang lain. Sebagai contoh, seorang
manajer mempunyai uang, kekuasaan atas bawahan dengan memiliki otoritas dalam
kesempatan promosi jabatan dan reward-reward lainnya.
Punishment/coercive power adalah level dimana
seorang manajer dapat memberikan hukuman untuk mengkontrol orang lain.
Bekerjanya type-type power seperti ini pada umumnya didasari oleh rasa takut
terhadap manajer, dengan kesadaran seorang manajer mempunyai power.
Legitimate
power adalah level dimana seorang manajer dapat menggunakan nilai-nilai yang
disepakati secara internal oleh bawahan bahwa atasan itu memang mempunyai hak
memerintah bawahan untuk mengkontrol orang lain. Legitimasi sama dengan
otoritas formal. Otoritas formal juga didasarkan pada posisi manajer dalam
hirarki otoritas. Legitimate power lebih didasarkan atas kesepakatan semua
anggota organisasi bahwa orang dalam peran tertentu, dapat meminta perilaku
tertentu dari orang lain. Sehingga para eksekutif benar-benar mempunyai
legitimasi.
Sementara
sumber-sumber power yang lebih berorientasi pada Personal, pada umumnya
didasarkan pada keterampilan (expertise)
dan referensi (reference) seseorang.
Expert power adalah kemampuan
mengkontrol tindakan orang lain karena kepemilikan pengetahuan, pengalaman,
atau keputusan yang tidak dimiliki orang lain padahal kemampuan itu dibutuhkan.
Referent power adalah kemampuan
mengkontrol tindakan orang lain karena keinginan individu sendiri untuk patuh.
Personal power bisa dipakai oleh seorang manajer untuk memperluas power-nya
sampai di luar batas power yang diperolehnya dari posisi sebagai manajer.
Referent power dapat kita lihat dalam Traditional Authority Relathionship
yang terjadi antara santri dengan Kyai yang dimanifestasikan dengan Sami’na
wa atho’na (Kami mendengar dan kami patuh).
Di
sisi lain, berdasarkan gambar di atas, proses berjalannya pengaruh dari power
tersebut, di mulai dari tersedianya dari power itu sendiri, kemudian
menjalankan power dan pengaruh berjalan seiring dengan berjalannya power tersebut.
Indikator proses terjadinya pengaruh dapat di lihat dari kemauan seseorang
melakukan suatu aktivitas yang sesuai dengan yang kita perintahkan.
Berkaitan
dengan bekerjanya type-type power di atas, French / Raven dan Kilman menawarkan
sebuah pendekatan situasional / Contingency Approach sebagaimana di
kutip Luthans (2007 ; Edisi Sepuluh) sebagaimana terlihat dalam tabel
sebagai berikut :
Sumber : Dimodifikasi dari French / Raven and
Kilman dalam Luthan, F. 2007. Organizational Behavior. Mcgraw-hill.
Berdasarkan tabel di atas, dapat di lihat
bahwa bekerjanya reward dan coercive power pada umumnya timbul
melalui proses kesadaran. Pada umumnya
target yang ingin dipengaruhi mempunyai keinginan untuk mendapatkan reaksi yang
menggembirakan dan berkeinginan untuk menghindari hukuman yang ada. Pihak yang
memiliki power/ the agent harus memiliki pengawasan yang cukup ketat
terhadap target.
Refferent power bekerja melalui
proses identifikasi. Pada umumnya pihak-pihak yang menjadi target pengaruh akan
menemukan kepuasan ketika berhubungan dengan pihak yang mempunyai power. Pada
umumnya target akan berusaha untuk menjalin hubungan yang akrab /harmonis
dengan pihak yang mempunyai power. Agar supaya type kekuasaan ini bekerja,
pihak yang memiliki power harus memiliki sesuatu yang menonjol. Disamping itu
juga harus selalu berusaha berdiri paling depan diantara barisan yang
dipimpinnya, untuk memelihara awareness/kesadaran yang telah dimiliki
oleh audience.
Sementara Expert dan legitimate
Power bekerja melalui proses internalization, dalam artian kedua jenis power di
atas bekerja berdasar pada kesadaran adanya bagian dari kesatuan sistem yang
harus memelihara dan mematuhi nilai-nilai internal sebuah organisasi yang sudah
berjalan. Agar type power ini dapat bekerja, maka Pihak yang berkuasa harus
mempunyai keterkaitan/ hubungan pertalian.
Ada perbedaan antara kepemimpinan dengan
kekuasaan yakni terkait dengan kesesuaian tujuan. Kekuasaan tidak mensyaratkan
kesesuaian tujuan hanya ketergantugan, sebaliknya kepemimpinan mensyaratkan
keserasian antara tujuan pemimpin dan mereka yang dipimpin. Perbedaan kedua berkaitan dengan arah pengaruh. Kepemimpinan
berfokus pada pengaruh kebawah kepada para pengikut. Kepemimpinan meminimalkan
pola-pola pengaruh kesamping dan keatas kekuasaan tidak demikian. Perbedaan
yang lain terletak pada penekanan penelitian. Penelitian mengenai kepemimpinan
sebagian besar menekankan gaya, penelitian tersebut mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan seperti seberapa sportif semestinya seorang pemimpin
sampai tingkat mana proses pengambilan keputusan harus dilakukan bersama dengan
para pengikut. Sebaliknya penelitian mengenai kekuasaan cenderung mencakup
bidang yang lebih luas dan terfokus pada taktik-taktik untuk memperoleh
kepatuhan dari anak buah, penelitian itu melampaui individu sebagai pelaksana
kekuasaan karena kekuasaan dapat digunakan oleh kelompok dan juga individu
untuk mengendalikan individu atau kelompok-kelompok lain.
Power,
otoritas formal, Kepatuhan /obedience dan Zone of indifference
Konsep power, otoritas formal dan kepatuhan
merupakan konsep yang saling terkait. Kepatuhan adalah apa yang terjadi saat
seorang individu merespon perintah ataupun arahan orang lain. Pada eksperimen Milgram
(1978) dalam Schermerhorn (2005 : 467), menunjukkan bahwa orang-orang cenderung mematuhi perintah orang
/ individu yang tampak berkuasa dan memiliki otoritas, bahkan tidak menutup
kemungkinan perintah tersebut bertentangan dengan pendapat individu yang patuh
tadi. Power dan otoritas bekerja hanya jika si individu ‘menerima’-nya.
Sementara,
Chester Barnard dalam Schermerhorn (2005 : 468) berpendapat bahwa
bawahan akan menerima atau mengikuti suatu perintah dari atasan hanya pada
keadaan tertentu di mana harus dipenuhi beberapa syarat, diantaranya :
1.
Bawahan dapat dan harus mengerti tentang apa yang
diperintahkan.
2.
Bawahan harus merasa mampu secara fisik dan mental
untuk melaksanakan perintah.
3.
Bawahan harus yakin bahwa perintah itu tidak
bertentangan dengan tujuan organisasi.
4.
Bawahan harus yakin bahwa perintah itu tidak
bertentangan kepentingan pribadinya.
Berkaitan dengan di atas, Bernard juga membuat
sebuah model yang bisa dilihat di dalam gambar 2 berikut :
Gambar 2. Pyscological Contract
Sumber :Bernard dalam
Schermerhorn Jhon R, Jr, JJJames G, Hull dan Richard N Osborn.2005.
Organizational Behavioral.Jhon wiley & Sons,Inc.
Model
di atas dapat digunakan seorang manajer untuk mengetahui apakah perintah yang
dikeluarkan mendapat respon yang positif atau negatif, dengan membedakan 2
wilayah (inside zone of indifference and
outside zone indifference). Zone of
indifference adalah daerah perintah di mana bawahan mau melaksanakan
perintah itu tanpa banyak mengkritik lagi, sehingga dikatakan bahwa bawahan itu
indeferen. Kepatuhan akan mengarah pada ‘inside
zone of indifference: normal inducements sufficient’ sehingga pemberian
stimulus pada bawahan supaya patuh sudah cukup. Sebaliknya, ketidakpatuhan akan
mengarah pada ‘outside zone indifference:
extraordinary inducements required’ sehingga perlu diberikan stimulus yang
lebih pada bawahan agar patuh.
Perspektif
manajerial terhadap power dan pengaruh harus mencakup pertimbangan praktis
tentang bagaimana memperoleh power yang diperlukan agar suatu pekerjaan
dilakukan oleh orang lain. Bagi higher-level
superiors, power diperoleh dari personal power dan pengaruh yang ditujukan
pada atasan. Bagi manager, power
diperoleh dari personal power dan pengaruh yang ditujukan pada bawahan. Pada
tingkat manajer itu pula, jika seorang manajer memperoleh pengaruh yang
ditujukan pada sesamanya yang mana pengaruh itu didukung oleh personal power
maka si manajer tadi bisa memperoleh kekuasaan atas sesamanya (peers) dan pihak luar (outsiders). Bagi subordinates, power
diperoleh dari personal power dan position power, serta pengaruh yang ditujukan
pada sesama bawahan.
Berkaitan
dengan hal tersebut Cameron, Kim S dan David A Wheeten dalam Schermerhorn
(2005: 471) memberikan lima panduan untuk mendukung position power diantaranya:
- Kita perlu meningkatkan sentralitas dan sifat kritis kita, misalnya dengan mendapatkan lebih banyak peran sentral dalam sistem kerja.
- Kita perlu meningkatkan kehati-hatian dan fleksibilitas kita dalam bekerja.
- Kita harus membangun tugas-tugas yang sulit untuk mengevaluasi pekerjaan kita, misalnya dengan mengikuti pelatihan-pelatihan.
- Kita perlu meningkatkan visibilitas kita dalam menyelesaikan pekerjaan, misalnya dengan melakukan lebih banyak kontak dengan senior/atasan kita.
- Kita perlu meningkatkan relevansi tugas-tugas kita dengan organisasi kita, misalnya dengan menjadi koordinator internal ataupun perwakilan organisasi kita di lingkup eksternal.
Dalam
artikel yang sama Cameron Kim S dan
David A Wheeten juga memberikan tiga karakteristik personal yang perlu dimiliki
untuk mendukung personal power, yaitu :
- Pengetahuan dan informasi.
- Pribadi yang menarik.
- Usaha keras.
Disamping
itu, para manajer dapat menempuh beragam cara untuk mendapat position power dan personal power. Mereka juga bisa menjadi terampil dalam menggunakan
beragam taktik seperti:
- Alasan,
- Hubungan Pertemanan,
- Rayuan dan
- Bargaining untuk mempengaruhi atasan, sesama, dan bawahan.
Ada beberapa strategi yang paling umum diperlukan dalam mengubah power
menjadi pengaruh.
- Reason yaitu menggunakan fakta dan data untuk mendukung argumen.
- Friendliness yaitu menggunakan rayuan, niat baik, dan sejenisnya.
- coalition yaitu menggunakan hubungan dengan orang lain sebagai alat pendukung.
- Bargaining yaitu menggunakan pertukaran keuntungan sebagai dasar dalam bernegosiasi.
- Assertiveness adalah menggunakan suatu pendekatan personal yang langsung dan memaksa.
- Higher authority adalah mendapatkan dukungan dari atasan.
- Sanctions adalah menggunakan sistem penghargaan dan penghukuman yang di dapat dari organisasi.
Empowerment
Empowerment adalah proses melalui mana
para manajer membantu pihak lain mendapatkan dan menggunakan power yang
diperlukan untuk membuat keputusan yang mempengaruhi mereka sendiri dan kerja
mereka.
Pedelegasian
otoritas secara jelas, perencanaan yang terintegrasi, dan keterlibatan
manajemen senior adalah panduan penting untuk mengimplementasikan empowerment (pemberian kuasa). Tetapi
kunci suksesnya terletak pada pendefinisian kembali terhadap power agar setiap
orang bisa meraihnya. Pendefinisian kembali tersebut menekankan power sebagai
kemampuan menyuruh sesuatu hal dilakukan daripada hanya menyuruh pihak lain
melakukan apa yang kita ingin.
Corporate Politics
Politik
organisasional (organizational politics) memang merupakan suatu keharusan.
Politik organisasional Adalah penggunaan kekuaasaan
untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dalam organisasi atau pada perilaku
anggota-anggotanya yang bersifat mementingkan diri sendiri dan secara
organisasional tidak bersangsi.
Menurut Stephen P.
Robbins perilaku politik adalah kegiatan yang tidak dipandang sebagai bagian
dari peran formal seseorang didalamorganisasi tetapi yang mempengaruhi atau
berusaha mempengaruhi, distribusi keutungan dan kerugian didalam organisasi. Faktor-faktor
yang berkontribusi terhadap perilaku politik yakni :
1.
Faktor individu
Pada
tataran indifidu , para peniliti telah mengidentifikasi sifat-sifat kepribadian
tertentu, kebutuhan, dan beberapa factor lain yang dapat dikaitkan dengan
perilaku politik seseorang. Dalam hal ini sifat , sifat kita menemukan bahwa
para karyawan mampu merefleksikan diri secara baik, memiliki pusat lendali
internal, dan memiliki kebutuhan yang tinggi
akan kekuasaan punya kemungkinan lebih besar untuk terlibat dalam
prilaku politik. Orang yang mampu merefleksikan diri secara baik lebih
sensitive terhadap berbagai tanda social, mampu menamilkan tingkat kecerdasan
social, dan trampil dalam berprilaku
politik daripada mereka yang kurang
mampu merefleksikan diri. Individu-individu dengan locus of control internal,
lantaran meyakini bahwa mereka mampu mengendalikan lingkungannya, lebih
cenderung bersikap proaktif dan berupaya memanipulasi situasi demi kepentingan
mereka sendiri. Tidak mengejutkan, kepribadian Machiavellian-yang dicirikan
dengan kehendak untuk memanipulasi dan hasrat akan kekuasaan- dengan mudah menggunakan
politik sebagai sarana untuk memperjuangkan kepentingan sendiri.
Harapan
akan kesuksesan yang rendah dalam menggunakan sarana yang tidak sah. Harapan
akan kesuksesan yang tinggi dalam penggunaan sara yang tidak sh kemungkinan
besar wilayah orang-orang yang berpengalaman dan berkuasa yang terampil
berpolitik maupun karyawan tak berpengalaman dan naïf yang salah menilai
peluang mereka.
2. Faktor-faktor organisasi
Realokasi sumber
daya
Ketika
organisasi melakukan perampingan untuk
meningkatkan efisiensi, pengurangan sumber daya harus dilakukan.
Terancam kehilangan sumber daya, orang biasa terlibat dalam tindakan politik untuk mengamankan apa yang mereka
miliki. Tetapi perubahan apapun, khususnya yang mengimplikasikan realokasi
sumber daya dalam organisasi secara signifikan, berkemungkinan merangsang
timbulnya konflik dan meningkatkan politisasi.
Keputusan
promosi
Keputusan
promosi seringkali ditengarai sebagai salah satu tindakan paling politis dalam
organisasi. Peluang promosi atau
kemajuan mendorong orang untuk bersaing mendapatkan sumber daya yang
terbatas dan mencoba secara positif mempengaruhi hasil keputusan.
Tingkat
kepercayaan rendah
Semakin
kecil kepercayaan yang ada dalam organisasi, semkin tinggi tingkat perilaku
politik dan semakin mungkin perilaku politik itu semakin tidak sah .
Ambiguitas peran
Berarti
bahwa perilaku yang ditentukan untuk
karyawan tidak jelas. Karena itu, batas-batas cakupan dan fungsi tindakan
politik seorang karyawan lebih sedikit. Karena kegiatan politik didefinisikan sebagai kegiatan yang tidak
disyaratkan sebagai bagian dari peran
formal seseorang, semakin besar ambiguitas peran semakin banyak seseorang dapat
terlibat dalam kegiatan politik dengan peluang kegiatan itu terlihat kecil
Sistem evaluasi
kinerja tidak jelas
Semakin
banyak organisasi yang menggunakan kriteria
subyektif dalam penilaian, menekankan ukuran hasil yang sifatnya tunggal, atau
memakan waktu yang lama antara suatu tindakan dan pemberian penghargaan
atasnya, semakin besar pula kemungkinan seorang karyawan lari dan menjalankan
politisi.
Praktik-praktik
imbalan zero-sum
Bila
kultur organisasi semakin menekankan pendekatan zero sum atau menang kalah
dalam kebijakan alokasi imbalannya, karyawan akan semakin termotivasi untuk
melibatkan diri dalam politisi. Pendekatan zero sum menganngap kue sebagai
imbalan harga mati sehingga keuntungan apapun yang didapat satu orang atau
kelompok harus diperoleh dengan mengorbankan oaring atau kelompok lain.
Pengambilan
keputusan yang demokratis
Organisasi
saat ini dituntut untuk lebih terbuka dalam menirima masukan dari para karyawan
dalam pengambilan keputusan. Namun, gerakan kearah demokratis tidak serta-merta
dianut oleh semua manajer dan hal inilah yang terkadang menjadi mendorong untuk
bertindak politik
Tekanan kinerja
tinggi
Semakin
besar tekanan yang dirasakan oleh karyawan
untuk meningkatkan kinerja mereka, semakin besar kemungkinan mereka
terlibat dalam proses politisi
Para manajer
yang egois
Karyawan
melihat orang-orang yang ada di puncak terlibat dalam perilaku politik,
khususnya mereka berhasil melakukannya dan mendaptkan imbalan atas keberhsilan itu,
terciptalah sebuah suasana yang
mendukung politisi
Ada
dua tradisi politik organisasional. Pertama yang didasarkan pada filosofi Machiavelli
dan mendefinisikan politik sebagai kepentingan pribadi (self-interest) dan penggunaan alat-alat yang tidak ditentukan
secara prosedural, misalnya dengan menggunakan pengaruh. Tradisi pertama
tersebut mendefinisikan politik organisasional sebagaimana di atas.
Tradisi
Kedua, mendifinisikan politik sebagai suatu fungsi penting yang timbul akibat
perbedaan kepentingan pribadi para individu. Tradisi kedua tersebut memandang
politik organisasional sebagai seni mencapai kompromi yang kreatif di antara
beragam kepentingan yang berkompetisi.
Manajer
harus merasa terbiasa dengan tindakan politis dalam organisasi dan kemudian
menggunakan tindakan itu secara bertanggung jawab untuk tujuan yang positif.
Politik lebih mencakup tentang penggunaan power untuk mencapai tujuan akhir,
bukan tentang bagaimana ia di legalkan. Politik juga berarti penggunaan power
untuk menemukan cara menyeimbangkan kepentingan individu dan kolektif, dalam
keadaan sulit sekalipun.
Bagi manajer, politik sering
terjadi pada situasi yang penting dimana kepentingan-kepentingan manajer lain
ataupun individu harus disatukan dengan kepentingannya sendiri. Pada situasi
demikian, trust (kepercayaan) adalah
kuncinya. Dengan sikap saling percaya, hasil berimbang (win-win outcomes) seringkali dapat dicapai. Penjelasan ini
digambarkan dengan gambar sebagai berikut :
Gambar 3. Political payoff matrix for the allocation
of resources on a sample project
Sumber : Sumber :Bernard dalam Schemeron Jhon R, Jr,
JJJames G, Hull dan Richard N Osborn. 2005. Organizational Behavioral.Jhon
wiley & Sons,Inc P.469
Gambar
di atas menunjukkan terdapat dua orang manajer, Leslie dan Lee. Mereka
mempunyai dua pilihan, mengalokasikan sumber daya yang masing-masing mereka
miliki (Resource Allocated ) atau tidak mengalokasikan sumber daya yang
dimilki (Resource Witheld). Kalau Leslie mengalokasikan sumber dayanya
dan Lee tidak maka Leslie merugi, Lee untung, dan perusahaan kehilangan klien,
dan sebaliknya bagi Lee dan Leslie. Kalau keduanya mengalokasikan sumber
dayanya maka keduanya untung dan perusahaan tetap dapat mempertahankan
kliennya. Pilihan tersebut yang diharapkan terjadi. Kalau keduanya tidak mengalokasikan
sumber dayanya maka keduanya untung, tetapi perusahaan akan kehilangan
kliennya.
Corporate
politic juga melibatkan para subunit yang sama-sama tunduk pada power dan
posisi manajerial. Menurut Jeffry Pfefer dalam Schermerhorn (2005
: 483), apabila Sub unit yang ingin memperoleh power, ia perlu meningkatkan
kontrolnya terhadap :
- Sumber-sumber daya yang langka yang mana diperlukan oleh sesamanya,
- Kemampuan mengatasi ketidakpastian,
- Sentralitas dalam pekerjaan,
- Kemampuan menjadi pihak yang dapat menyelesaikan tugas-tugas sulit.
Sedangkan
Bagi chief executive, corporate
politik terjadi saat adanya kebergantungan sumber daya pada elemen-elemen
eksternal (environmental) yang harus
dikelola secara strategis, dan terjadi pula saat pengaturan organisasi (organizational governance) yang pada
umumnya good governance dilakukan
oleh dominant coalition yang ada di dalam sebuah organisasi. Tata kelola
organisasi secara baik dapat dilihat dalam konteks mekanisme Internal dan
eksternal. Mekanisme internal lebih terfokus kepada bagaimana pimpinan suatu
organsiasi mengatur jalannya organisasi sesuai dengan ketiga prinsip di atas.
Sedangkan mekanisme eksternal lebih menekankan kepada bagaimana interaksi
dengan pihak/ stake holder eksternal berjalan harmonis, dengan tidak
mengorbankan pencapaian tujuan organisisi.
The Ethic of Power and Politic
Etika
power dan politik sudah merupakan hal yang biasa dan sering didiskusikan. Power
bersifat non-politis apabila ia tetap dalam batas-batas otoritas formal,
kebijakan organisasional, prosedur, dan deskripsi kerja, atau apabila ia
ditujukan pada pencapaian tujuan yang ditentukan organisasi sendiri. Tetapi
ketika penggunaan power berada di luar otoritas, kebijakan, prosedur, dan
deskripsi kerja, atau ketika ia ditujukan untuk mencapai tujuan yang tidak
ditetapkan oleh organisasi sendiri maka penggunaan power seperti itu sudah bisa
dikatakan politis.
Manager
bisa terjebak dalam lingkup yang patut dipertanyakan ketika dia memilih
permainan yang melibatkan power dan politik untuk keluar dari situasi dimana
banyak muncul penolakan. Sementara tindakan si manajer mungkin bersifat
rasional dan diterima, tindakan itu mungkin juga tidak memenuhi standar
tindakan etis personal.
Ketika
tindakan politik bersifat etis, tindakan itu akan memuaskan/memenuhi kriteria
hasil yang utilitarian, hak individual, keadilan distributif, dan atau semua
faktor terkait. Berkaitan dengan itu, Valasques, Moberg dan Cavanagh dalam
schermerhorn (2005:486) membuat model yang terintegrasi untuk menganalisis
prilaku politik di dalam organisasi.
Gambar 4. integrated structure for anayizing political
behavior in organizations
Sumber :Bernard dalam Schermerhorn Jhon R, Jr, JJJames G, Hull dan
Richard N Osborn. 2005. Organizational Behavioral.Jhon wiley &
Sons,Inc P.469
Apabila
kita ingin menggunakan bagan di atas.
Langkah pertama adalah mengumpulkan fakta seputar tindakan politik yang telah
dilakukan. Kedua, kita perlu mengevaluasinya dengan mempertanyakan apakah
tindakan tersebut dapat diterima menurut tiga kriteria etika politik. Kalau ya,
tindakan politik yang telah dilakukan bersifat etis. Kalau tidak, terlebih dulu
dipertanyakan apakah faktor-faktor yang perlu dilaksanakan telah dipenuhi.
Kalau ya, tindakan politik yang telah dilakukan bersifat etis. Tetapi kalau
tidak, tindakan politik yang telah dilakukan bersifat tidak etis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar