Rabu, 22 Agustus 2018

PO


POWER and POLITIC
(DALAM KAJIAN TEORI)

Latar Belakang
            Pentingnya struktur dalam organisasi yang salah satu visualisasinya adalah bagan organisasi. Struktur tersebut juga merupakan pembeda antara organisasi formal dan informal. Di mana di dalam struktur tersebut, menggambarkan pengaturan, penugasan, kepada semua orang, sehingga setiap orang punya peran masing-masing sesuai dengan posisi dalam organisasi.
Di sisi lain, individu-individu di dalam organisasi  relatif  beragam  berkaitan dengan sikap, kepribadian dan motivasi.  Setiap Individu jarang sekali bergabung dalam suatu korporasi hanya dengan tujuan bekerja dalam rangka mencapai tujuan perusahaan tempat dia bekerja. Tapi setiap Individu juga mempunyai keberagaman motivasi, tujuan dan kepentingan pribadi yang harus dicapainya.
Kekuasaan dan politik dalam manajemen merupakan anak kembar yang tak terpisahkan, karena yang satu tidak dapat hidup tanpa yang lain. Para
manajer jaman sekarang harus mempelajari segi-segi pokok dalam kekuasaan dan
politik, jika mereka mau hidup terus dan berhasil. Mereka harus belajar tentang garis-garis kekuasaan, menggunakan teknik-teknik politik, dan menggunakan kekuasaan dan teknik-teknik politik secara efektif dalam karier mereka.

Identifikasi Masalah
Sehubungan dengan uraian yang telah dikemukakan, maka tulisan ini, mencoba menjawab beberapa pertanyaan pokok diantaranya
1.    Apa yang di maksud dengan power dalam konteks organisasi dan mengapa para manajer memerlukannya ?
2.    Apa hubungan antara power, otoritas formal, dan kepatuhan (obedience) ?
3.    Bagaimana para manajer memperoleh power yang diperlukan agar suatu pekerjaan dilakukan ?
4.    Apa yang dimaksud dengan empowerment dan bagaimana manajer dapat memberi kuasa atau meng-empower pihak lain ?  
5.    Apakah politik organisasional merupakan suatu keharusan (inevitable) dan apakah seorang manajer hidup dalam dunia politik ? 
6.    Bagaimana politik organisasional berbeda-beda bagi individual supervisor, middle manager, dan chies executive officer ?  
7.    Dapatkah power dan politik dalam suatu organisasi di anggap sebagai sesuatu yang memang seharusnya ada dan etis ?

Tujuan Penulisan
Sesuai dengan permasalahan yang disampaikan, maka tujuan penulisan adalah untuk :
1.    Menjelaskan power dalam konteks organisasi dan mengapa para manajer memerlukannya.
2.    Menjelaskan hubungan antara power, otoritas formal, dan kepatuhan (obedience).
3.    Menjelaskan bagaimana para manajer memperoleh power yang diperlukan agar suatu pekerjaan dilakukan.
4.    Menjelaskan maksud empowerment dan bagaimana manajer dapat memberi kuasa atau meng-empower pihak lain.  
5.    Menjelaskan apakah politik organisasional merupakan suatu keharusan (inevitable) dan apakah seorang manajer hidup dalam dunia politik.
6.    Menjelaskan politik organisasional berbeda-beda bagi individual supervisor, middle manager, dan chies executive officer.  
7.    Menjelaskan power dan politik dalam suatu organisasi di anggap sebagai sesuatu yang memang seharusnya ada dan etis.

Power
Power merupakan sesuatu yang penting di lingkup manajerial. Power adalah kemampuan menyuruh orang lain melakukan apa yang kita ingin untuk mereka lakukan. Power berbeda dengan pengaruh (influence). Pengaruh adalah suatu respon yang berupa tindakan atas digunakannya power. Sumber power dan proses mempengaruhi dapat dilihat dalam gambar berikut ;

Gambar 1. Power Source and Influence process
Sumber :   Schermerhorn Jhon R, Jr, James G, Hull dan Richard N Osborn.2005. Organizational Behavioral.Jhon wiley & Sons,Inc P.465




Berdasarkan gambar di atas, power di lingkup manajerial diperoleh dari dua sumber, yaitu: power position dan personal power. Position power merupakan power yang diperoleh seorang manajer karena posisinya sebagai manajer dalam suatu organisasi. Power position memiliki tiga sumber, yaitu :

Reward power adalah level dimana seorang manajer dapat menggunakan rewards yang bersifat ekstrinsik dan intrinsik untuk mengkontrol orang lain. Sebagai contoh, seorang manajer mempunyai uang, kekuasaan atas bawahan dengan memiliki otoritas dalam kesempatan promosi jabatan dan reward-reward lainnya.
Punishment/coercive power adalah level dimana seorang manajer dapat memberikan hukuman untuk mengkontrol orang lain. Bekerjanya type-type power seperti ini pada umumnya didasari oleh rasa takut terhadap manajer, dengan kesadaran seorang manajer mempunyai power. 
Legitimate power adalah level dimana seorang manajer dapat menggunakan nilai-nilai yang disepakati secara internal oleh bawahan bahwa atasan itu memang mempunyai hak memerintah bawahan untuk mengkontrol orang lain. Legitimasi sama dengan otoritas formal. Otoritas formal juga didasarkan pada posisi manajer dalam hirarki otoritas. Legitimate power lebih didasarkan atas kesepakatan semua anggota organisasi bahwa orang dalam peran tertentu, dapat meminta perilaku tertentu dari orang lain. Sehingga para eksekutif benar-benar mempunyai legitimasi.
Sementara sumber-sumber power yang lebih berorientasi pada Personal, pada umumnya didasarkan pada keterampilan (expertise) dan referensi (reference) seseorang.
Expert power adalah kemampuan mengkontrol tindakan orang lain karena kepemilikan pengetahuan, pengalaman, atau keputusan yang tidak dimiliki orang lain padahal kemampuan itu dibutuhkan.

Referent power adalah kemampuan mengkontrol tindakan orang lain karena keinginan individu sendiri untuk patuh. Personal power bisa dipakai oleh seorang manajer untuk memperluas power-nya sampai di luar batas power yang diperolehnya dari posisi sebagai manajer. Referent power dapat kita lihat dalam Traditional Authority Relathionship yang terjadi antara santri dengan Kyai yang dimanifestasikan dengan Sami’na wa atho’na (Kami mendengar dan kami patuh).

Di sisi lain, berdasarkan gambar di atas, proses berjalannya pengaruh dari power tersebut, di mulai dari tersedianya dari power itu sendiri, kemudian menjalankan power dan pengaruh berjalan seiring dengan berjalannya power tersebut. Indikator proses terjadinya pengaruh dapat di lihat dari kemauan seseorang melakukan suatu aktivitas yang sesuai dengan yang kita perintahkan.
Berkaitan dengan bekerjanya type-type power di atas, French / Raven dan Kilman menawarkan sebuah pendekatan situasional / Contingency Approach sebagaimana di kutip Luthans (2007 ; Edisi Sepuluh) sebagaimana terlihat dalam tabel sebagai berikut :

Sumber : Dimodifikasi dari French / Raven and Kilman dalam Luthan, F. 2007. Organizational Behavior. Mcgraw-hill.


Berdasarkan tabel di atas, dapat di lihat bahwa bekerjanya reward dan coercive power pada umumnya timbul melalui  proses kesadaran. Pada umumnya target yang ingin dipengaruhi mempunyai keinginan untuk mendapatkan reaksi yang menggembirakan dan berkeinginan untuk menghindari hukuman yang ada. Pihak yang memiliki power/ the agent harus memiliki pengawasan yang cukup ketat terhadap target.
Refferent power bekerja melalui proses identifikasi. Pada umumnya pihak-pihak yang menjadi target pengaruh akan menemukan kepuasan ketika berhubungan dengan pihak yang mempunyai power. Pada umumnya target akan berusaha untuk menjalin hubungan yang akrab /harmonis dengan pihak yang mempunyai power. Agar supaya type kekuasaan ini bekerja, pihak yang memiliki power harus memiliki sesuatu yang menonjol. Disamping itu juga harus selalu berusaha berdiri paling depan diantara barisan yang dipimpinnya, untuk memelihara awareness/kesadaran yang telah dimiliki oleh audience.
Sementara Expert dan legitimate Power bekerja melalui proses internalization, dalam artian kedua jenis power di atas bekerja berdasar pada kesadaran adanya bagian dari kesatuan sistem yang harus memelihara dan mematuhi nilai-nilai internal sebuah organisasi yang sudah berjalan. Agar type power ini dapat bekerja, maka Pihak yang berkuasa harus mempunyai keterkaitan/ hubungan pertalian.
Ada perbedaan antara kepemimpinan dengan kekuasaan yakni terkait dengan kesesuaian tujuan. Kekuasaan tidak mensyaratkan kesesuaian tujuan hanya ketergantugan, sebaliknya kepemimpinan mensyaratkan keserasian antara tujuan pemimpin dan mereka yang dipimpin. Perbedaan kedua  berkaitan dengan arah pengaruh. Kepemimpinan berfokus pada pengaruh kebawah kepada para pengikut. Kepemimpinan meminimalkan pola-pola pengaruh kesamping dan keatas kekuasaan tidak demikian. Perbedaan yang lain terletak pada penekanan penelitian. Penelitian mengenai kepemimpinan sebagian besar menekankan gaya, penelitian tersebut mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti seberapa sportif semestinya seorang pemimpin sampai tingkat mana proses pengambilan keputusan harus dilakukan bersama dengan para pengikut. Sebaliknya penelitian mengenai kekuasaan cenderung mencakup bidang yang lebih luas dan terfokus pada taktik-taktik untuk memperoleh kepatuhan dari anak buah, penelitian itu melampaui individu sebagai pelaksana kekuasaan karena kekuasaan dapat digunakan oleh kelompok dan juga individu untuk mengendalikan individu atau kelompok-kelompok lain.


Power, otoritas formal, Kepatuhan /obedience dan Zone of indifference
Konsep power, otoritas formal dan kepatuhan merupakan konsep yang saling terkait. Kepatuhan adalah apa yang terjadi saat seorang individu merespon perintah ataupun arahan orang lain. Pada eksperimen Milgram (1978) dalam Schermerhorn (2005 : 467), menunjukkan bahwa  orang-orang cenderung mematuhi perintah orang / individu yang tampak berkuasa dan memiliki otoritas, bahkan tidak menutup kemungkinan perintah tersebut bertentangan dengan pendapat individu yang patuh tadi. Power dan otoritas bekerja hanya jika si individu ‘menerima’-nya. 

Sementara, Chester Barnard dalam Schermerhorn (2005 : 468) berpendapat bahwa bawahan akan menerima atau mengikuti suatu perintah dari atasan hanya pada keadaan tertentu di mana harus dipenuhi beberapa syarat, diantaranya :
1.      Bawahan dapat dan harus mengerti tentang apa yang diperintahkan.
2.      Bawahan harus merasa mampu secara fisik dan mental untuk melaksanakan perintah.
3.      Bawahan harus yakin bahwa perintah itu tidak bertentangan dengan tujuan organisasi.
4.      Bawahan harus yakin bahwa perintah itu tidak bertentangan kepentingan pribadinya.
 
Berkaitan dengan di atas, Bernard juga membuat sebuah model yang bisa dilihat di dalam gambar 2 berikut :
 Gambar 2. Pyscological Contract

Sumber :Bernard dalam Schermerhorn Jhon R, Jr, JJJames G, Hull dan Richard N Osborn.2005. Organizational Behavioral.Jhon wiley & Sons,Inc.


Model di atas dapat digunakan seorang manajer untuk mengetahui apakah perintah yang dikeluarkan mendapat respon yang positif atau negatif, dengan membedakan 2 wilayah (inside zone of indifference and outside zone indifference). Zone of indifference adalah daerah perintah di mana bawahan mau melaksanakan perintah itu tanpa banyak mengkritik lagi, sehingga dikatakan bahwa bawahan itu indeferen. Kepatuhan akan mengarah pada ‘inside zone of indifference: normal inducements sufficient’ sehingga pemberian stimulus pada bawahan supaya patuh sudah cukup. Sebaliknya, ketidakpatuhan akan mengarah pada ‘outside zone indifference: extraordinary inducements required’ sehingga perlu diberikan stimulus yang lebih pada bawahan agar patuh. 

Managerial Perspective on Power and Influence
Perspektif manajerial terhadap power dan pengaruh harus mencakup pertimbangan praktis tentang bagaimana memperoleh power yang diperlukan agar suatu pekerjaan dilakukan oleh orang lain. Bagi higher-level superiors, power diperoleh dari personal power dan pengaruh yang ditujukan pada atasan. Bagi manager, power diperoleh dari personal power dan pengaruh yang ditujukan pada bawahan. Pada tingkat manajer itu pula, jika seorang manajer memperoleh pengaruh yang ditujukan pada sesamanya yang mana pengaruh itu didukung oleh personal power maka si manajer tadi bisa memperoleh kekuasaan atas sesamanya (peers) dan pihak luar (outsiders). Bagi subordinates, power diperoleh dari personal power dan position power, serta pengaruh yang ditujukan pada sesama bawahan.

Berkaitan dengan hal tersebut Cameron, Kim S dan David A Wheeten dalam Schermerhorn (2005: 471) memberikan lima panduan untuk mendukung position power diantaranya:
  1. Kita perlu meningkatkan sentralitas dan sifat kritis kita, misalnya dengan mendapatkan lebih banyak peran sentral dalam sistem kerja. 
  2. Kita perlu meningkatkan kehati-hatian dan fleksibilitas kita dalam bekerja. 
  3. Kita harus membangun tugas-tugas yang sulit untuk mengevaluasi pekerjaan kita, misalnya dengan mengikuti pelatihan-pelatihan. 
  4. Kita perlu meningkatkan visibilitas kita dalam menyelesaikan pekerjaan, misalnya dengan melakukan lebih banyak kontak dengan senior/atasan kita. 
  5. Kita perlu meningkatkan relevansi tugas-tugas kita dengan organisasi kita, misalnya dengan menjadi koordinator internal ataupun perwakilan organisasi kita di lingkup eksternal.

Dalam artikel yang sama  Cameron Kim S dan David A Wheeten juga memberikan tiga karakteristik personal yang perlu dimiliki untuk mendukung personal power, yaitu :

  • Pengetahuan dan informasi. 
  • Pribadi yang menarik. 
  • Usaha keras.

Disamping itu, para manajer dapat menempuh beragam cara untuk mendapat position power dan personal power. Mereka juga bisa menjadi terampil dalam menggunakan beragam taktik  seperti:

  • Alasan, 
  • Hubungan Pertemanan, 
  • Rayuan dan 
  • Bargaining untuk mempengaruhi atasan, sesama, dan bawahan.
Ada beberapa strategi yang paling umum diperlukan dalam mengubah power menjadi pengaruh.
  • Reason yaitu menggunakan fakta dan data untuk mendukung argumen. 
  • Friendliness yaitu menggunakan rayuan, niat baik, dan sejenisnya. 
  • coalition yaitu menggunakan hubungan dengan orang lain sebagai alat pendukung. 
  • Bargaining yaitu menggunakan pertukaran keuntungan sebagai dasar dalam bernegosiasi. 
  • Assertiveness adalah menggunakan suatu pendekatan personal yang langsung dan memaksa. 
  • Higher authority adalah mendapatkan dukungan dari atasan. 
  • Sanctions adalah menggunakan sistem penghargaan dan penghukuman yang di dapat dari organisasi.

Empowerment

Empowerment adalah proses melalui mana para manajer membantu pihak lain mendapatkan dan menggunakan power yang diperlukan untuk membuat keputusan yang mempengaruhi mereka sendiri dan kerja mereka.
Pedelegasian otoritas secara jelas, perencanaan yang terintegrasi, dan keterlibatan manajemen senior adalah panduan penting untuk mengimplementasikan empowerment (pemberian kuasa). Tetapi kunci suksesnya terletak pada pendefinisian kembali terhadap power agar setiap orang bisa meraihnya. Pendefinisian kembali tersebut menekankan power sebagai kemampuan menyuruh sesuatu hal dilakukan daripada hanya menyuruh pihak lain melakukan apa yang kita ingin.

Corporate Politics
            Politik organisasional (organizational politics) memang merupakan suatu keharusan. Politik organisasional Adalah penggunaan kekuaasaan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dalam organisasi atau pada perilaku anggota-anggotanya yang bersifat mementingkan diri sendiri dan secara organisasional tidak bersangsi.
Menurut Stephen P. Robbins perilaku politik adalah kegiatan yang tidak dipandang sebagai bagian dari peran formal seseorang didalamorganisasi tetapi yang mempengaruhi atau berusaha mempengaruhi, distribusi keutungan dan kerugian didalam organisasi. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perilaku politik yakni :


1.      Faktor individu
Pada tataran indifidu , para peniliti telah mengidentifikasi sifat-sifat kepribadian tertentu, kebutuhan, dan beberapa factor lain yang dapat dikaitkan dengan perilaku politik seseorang. Dalam hal ini sifat , sifat kita menemukan bahwa para karyawan mampu merefleksikan diri secara baik, memiliki pusat lendali internal, dan memiliki kebutuhan yang tinggi  akan kekuasaan punya kemungkinan lebih besar untuk terlibat dalam prilaku politik. Orang yang mampu merefleksikan diri secara baik lebih sensitive terhadap berbagai tanda social, mampu menamilkan tingkat kecerdasan social, dan trampil dalam  berprilaku politik  daripada mereka yang kurang mampu merefleksikan diri. Individu-individu dengan locus of control internal, lantaran meyakini bahwa   mereka  mampu mengendalikan lingkungannya, lebih cenderung bersikap proaktif dan berupaya memanipulasi situasi demi kepentingan mereka sendiri. Tidak mengejutkan, kepribadian Machiavellian-yang dicirikan dengan kehendak untuk memanipulasi dan hasrat akan kekuasaan- dengan mudah menggunakan politik sebagai sarana untuk memperjuangkan kepentingan sendiri.
Harapan akan kesuksesan yang rendah dalam menggunakan sarana yang tidak sah. Harapan akan kesuksesan yang tinggi dalam penggunaan sara yang tidak sh kemungkinan besar wilayah orang-orang yang berpengalaman dan berkuasa yang terampil berpolitik maupun karyawan tak berpengalaman dan naïf yang salah menilai peluang mereka. 

2. Faktor-faktor organisasi
Realokasi sumber daya


Ketika organisasi melakukan perampingan untuk  meningkatkan efisiensi, pengurangan sumber daya harus dilakukan. Terancam kehilangan sumber daya, orang biasa terlibat dalam tindakan  politik untuk mengamankan apa yang mereka miliki. Tetapi perubahan apapun, khususnya yang mengimplikasikan realokasi sumber daya dalam organisasi secara signifikan, berkemungkinan merangsang timbulnya konflik dan meningkatkan politisasi.


Keputusan promosi
Keputusan promosi seringkali ditengarai sebagai salah satu tindakan paling politis dalam organisasi. Peluang promosi atau  kemajuan mendorong orang untuk bersaing mendapatkan sumber daya yang terbatas dan mencoba secara positif mempengaruhi hasil keputusan.
Tingkat kepercayaan rendah
Semakin kecil kepercayaan yang ada dalam organisasi, semkin tinggi tingkat perilaku politik dan semakin mungkin perilaku politik itu semakin tidak sah .
Ambiguitas peran
Berarti bahwa  perilaku yang ditentukan untuk karyawan tidak jelas. Karena itu, batas-batas cakupan dan fungsi tindakan politik seorang karyawan lebih sedikit. Karena kegiatan politik  didefinisikan sebagai kegiatan yang tidak disyaratkan sebagai bagian dari  peran formal seseorang, semakin besar ambiguitas peran semakin banyak seseorang dapat terlibat dalam kegiatan politik dengan peluang kegiatan itu terlihat kecil
Sistem evaluasi kinerja tidak jelas
Semakin banyak organisasi  yang menggunakan kriteria subyektif dalam penilaian, menekankan ukuran hasil yang sifatnya tunggal, atau memakan waktu yang lama antara suatu tindakan dan pemberian penghargaan atasnya, semakin besar pula kemungkinan seorang karyawan lari dan menjalankan politisi.
Praktik-praktik imbalan zero-sum
Bila kultur organisasi semakin menekankan pendekatan zero sum atau menang kalah dalam kebijakan alokasi imbalannya, karyawan akan semakin termotivasi untuk melibatkan diri dalam politisi. Pendekatan zero sum menganngap kue sebagai imbalan harga mati sehingga keuntungan apapun yang didapat satu orang atau kelompok harus diperoleh dengan mengorbankan oaring atau kelompok lain.
Pengambilan keputusan yang demokratis
Organisasi saat ini dituntut untuk lebih terbuka dalam menirima masukan dari para karyawan dalam pengambilan keputusan. Namun, gerakan kearah demokratis tidak serta-merta dianut oleh semua manajer dan hal inilah yang terkadang menjadi mendorong untuk bertindak politik
Tekanan kinerja tinggi
Semakin besar tekanan yang dirasakan oleh karyawan  untuk meningkatkan kinerja mereka, semakin besar kemungkinan mereka terlibat dalam proses politisi
Para manajer yang  egois
Karyawan melihat orang-orang yang ada di puncak terlibat dalam perilaku politik, khususnya mereka berhasil melakukannya dan mendaptkan imbalan atas keberhsilan itu, terciptalah  sebuah suasana yang mendukung politisi
Ada dua tradisi politik organisasional. Pertama yang didasarkan pada filosofi Machiavelli dan mendefinisikan politik sebagai kepentingan pribadi (self-interest) dan penggunaan alat-alat yang tidak ditentukan secara prosedural, misalnya dengan menggunakan pengaruh. Tradisi pertama tersebut mendefinisikan politik organisasional sebagaimana di atas.
Tradisi Kedua, mendifinisikan politik sebagai suatu fungsi penting yang timbul akibat perbedaan kepentingan pribadi para individu. Tradisi kedua tersebut memandang politik organisasional sebagai seni mencapai kompromi yang kreatif di antara beragam kepentingan yang berkompetisi.
Manajer harus merasa terbiasa dengan tindakan politis dalam organisasi dan kemudian menggunakan tindakan itu secara bertanggung jawab untuk tujuan yang positif. Politik lebih mencakup tentang penggunaan power untuk mencapai tujuan akhir, bukan tentang bagaimana ia di legalkan. Politik juga berarti penggunaan power untuk menemukan cara menyeimbangkan kepentingan individu dan kolektif, dalam keadaan sulit sekalipun.


Corporate politics di tingkat  individual supervisor, middle manager, dan chies executive officer
 Bagi manajer, politik sering terjadi pada situasi yang penting dimana kepentingan-kepentingan manajer lain ataupun individu harus disatukan dengan kepentingannya sendiri. Pada situasi demikian, trust (kepercayaan) adalah kuncinya. Dengan sikap saling percaya, hasil berimbang (win-win outcomes) seringkali dapat dicapai. Penjelasan ini digambarkan dengan gambar sebagai berikut :
  
Gambar 3.  Political payoff matrix for the allocation of resources on a sample project
Sumber : Sumber :Bernard dalam Schemeron Jhon R, Jr, JJJames G, Hull dan Richard N Osborn. 2005. Organizational Behavioral.Jhon wiley & Sons,Inc P.469

 
Gambar di atas menunjukkan terdapat dua orang manajer, Leslie dan Lee. Mereka mempunyai dua pilihan, mengalokasikan sumber daya yang masing-masing mereka miliki (Resource Allocated ) atau tidak mengalokasikan sumber daya yang dimilki (Resource Witheld). Kalau Leslie mengalokasikan sumber dayanya dan Lee tidak maka Leslie merugi, Lee untung, dan perusahaan kehilangan klien, dan sebaliknya bagi Lee dan Leslie. Kalau keduanya mengalokasikan sumber dayanya maka keduanya untung dan perusahaan tetap dapat mempertahankan kliennya. Pilihan tersebut yang diharapkan terjadi. Kalau keduanya tidak mengalokasikan sumber dayanya maka keduanya untung, tetapi perusahaan akan kehilangan kliennya.
Corporate politic juga melibatkan para subunit yang sama-sama tunduk pada power dan posisi manajerial. Menurut Jeffry Pfefer dalam Schermerhorn (2005 : 483), apabila Sub unit yang ingin memperoleh power, ia perlu meningkatkan kontrolnya terhadap :

  • Sumber-sumber daya yang langka yang mana diperlukan oleh sesamanya, 
  • Kemampuan mengatasi ketidakpastian, 
  • Sentralitas dalam pekerjaan, 
  • Kemampuan menjadi pihak yang dapat menyelesaikan tugas-tugas sulit.
Sedangkan Bagi chief executive, corporate politik terjadi saat adanya kebergantungan sumber daya pada elemen-elemen eksternal (environmental) yang harus dikelola secara strategis, dan terjadi pula saat pengaturan organisasi (organizational governance) yang pada umumnya  good governance dilakukan oleh dominant coalition yang ada di dalam sebuah organisasi. Tata kelola organisasi secara baik dapat dilihat dalam konteks mekanisme Internal dan eksternal. Mekanisme internal lebih terfokus kepada bagaimana pimpinan suatu organsiasi mengatur jalannya organisasi sesuai dengan ketiga prinsip di atas. Sedangkan mekanisme eksternal lebih menekankan kepada bagaimana interaksi dengan pihak/ stake holder eksternal berjalan harmonis, dengan tidak mengorbankan pencapaian tujuan organisisi.

The Ethic of Power and Politic
Etika power dan politik sudah merupakan hal yang biasa dan sering didiskusikan. Power bersifat non-politis apabila ia tetap dalam batas-batas otoritas formal, kebijakan organisasional, prosedur, dan deskripsi kerja, atau apabila ia ditujukan pada pencapaian tujuan yang ditentukan organisasi sendiri. Tetapi ketika penggunaan power berada di luar otoritas, kebijakan, prosedur, dan deskripsi kerja, atau ketika ia ditujukan untuk mencapai tujuan yang tidak ditetapkan oleh organisasi sendiri maka penggunaan power seperti itu sudah bisa dikatakan politis.
Manager bisa terjebak dalam lingkup yang patut dipertanyakan ketika dia memilih permainan yang melibatkan power dan politik untuk keluar dari situasi dimana banyak muncul penolakan. Sementara tindakan si manajer mungkin bersifat rasional dan diterima, tindakan itu mungkin juga tidak memenuhi standar tindakan etis personal.
Ketika tindakan politik bersifat etis, tindakan itu akan memuaskan/memenuhi kriteria hasil yang utilitarian, hak individual, keadilan distributif, dan atau semua faktor terkait. Berkaitan dengan itu, Valasques, Moberg dan Cavanagh dalam schermerhorn (2005:486) membuat model yang terintegrasi untuk menganalisis prilaku politik di dalam organisasi.

 

Gambar 4.  integrated structure for anayizing political behavior in organizations
Sumber :Bernard dalam Schermerhorn Jhon R, Jr, JJJames G, Hull dan Richard N Osborn. 2005. Organizational Behavioral.Jhon wiley & Sons,Inc P.469
 

 Apabila kita ingin menggunakan bagan  di atas. Langkah pertama adalah mengumpulkan fakta seputar tindakan politik yang telah dilakukan. Kedua, kita perlu mengevaluasinya dengan mempertanyakan apakah tindakan tersebut dapat diterima menurut tiga kriteria etika politik. Kalau ya, tindakan politik yang telah dilakukan bersifat etis. Kalau tidak, terlebih dulu dipertanyakan apakah faktor-faktor yang perlu dilaksanakan telah dipenuhi. Kalau ya, tindakan politik yang telah dilakukan bersifat etis. Tetapi kalau tidak, tindakan politik yang telah dilakukan bersifat tidak etis.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar