Model komperhensif dari budaya pembelajaran
organisasi berkaitan dengan tingkatan pembelajaran, budaya
organisasi, perilaku organisasi dalam konteks perubahan, dan dimensi-dimensi budaya
pembelajaran organisasi. Setiap dimensi budaya pembelajaran dikembangkan hingga
mencapai tataran treble loop learning, menjangkau asumsi-asumsi dasar
atau beliefs organisasi dalam suatu keselarasan di antara tiga lapisan
budaya organisasi, serta mengandaikan pengembangan perilaku memadai dari
organisasi. Keseluruhan budaya pembelajaran merupakan suatu bauran (mixture)
yang memadai bagi setiap organisasi, meskipun dapat ditemukan adanya suatu
kisaran yang dihuni secara umum oleh himpunan (cluster) organisasi dalam
lingkungan, habitat, atau tingkat kemajuan yang relatif sama.
Keterkaitan antara tingkatan pembelajaran dengan
budaya organisasi dan perilaku organisasi terutama bersumber dari model Borzsony dan Hunter (1996). Klasifikasi dimensi-dimensi budaya pembelajaran mengacu pada Denison (1990).
Borzsoni dan Hunter menunjukan adanya hubungan
antara budaya, perilaku organisasi, dan tingkatan pembelajaran. Single-loop
learning berkaitan dengan lapisan symbol atau artefak organisasi dan
perilaku “allowed to learn/ change.” Pembelajaran pada tataran double
loop-learning berkenaan dengan sikap (attitudes) atau nilai-nilai (values)
dari budaya organisasi dan perilaku organisasi adalah “able to learn/
change.” Sedangkan triple-loop learning berkenaan dengan lapisan
terdalam dari budaya organisasi berupa keyakinan-keyakinan, dan perilaku “willing
to learn/ change.” Secara teoritis, learning organization akan
semakin meningkat kapabilitas kolektifnya, jika budaya pembelajaran
dikembangkan hingga pada level yang terdalam, yaitu menyentuh asumsi-asumsi
dasar atau beliefs dari organisasi.
Model komprehensif
Dimensi Keterlibatan (Involvement)
Budaya organisasi yang efektif menekankan prinsip-prinsip keterlibatan (involvement),
partisipasi, dan keterpaduan dari kepentingan-kepentingan individu dengan
kepentingan-kepentingan organisasi (Denison, 1990; Denison & Mishra,
1995). Dengan begitu akan tercipta rasa kepemilikan dan tanggung jawab,
sehingga komitmen terhadap organisasi akan meningkat.
Dimensi Consistency
Pandangan konsistensi menekankan budaya yang kuat
dari organisasi.
Di sini ditekankan adanya sistem-sistem pengendalian implisit, didasarkan pada
nilai-nilai yang diinternalisasi, dari pada sistem-sistem pengendalian
eksternal yang mendasarkan diri pada pedoman-pedoman (rules) dan
aturan-aturan (regulations). Dengan kata lain, budaya yang kuat
menekankan sistem keyakinan, nilai-nilai, dan simbol yang dipahami secara luas
oleh anggota-anggota organisasi, atau rumusan kolektif (collective
definition) mengenai perilaku, sistem, dan makna (meanings) secara
terpadu yang menuntut kepatuhan individual (individual conformity) ketimbang
partisipasi sukarela (Denison & Mishra, 1995. Intinya, perspektif ini
menekankan konformitas atau agreement dan prediktabilitas.
Dimensi Adaptability
Konsepsi ini menekankan sistem-sistem nilai dan keyakinan yang mendukung kapasitas organisasi dalam menerima, menginterpretasikan, menterjemahkan signal-signal dari lingkungan ke dalam perubahan-perubahan kognitif, perilaku dan struktur internal sehingga meningkatkan kesempatan organisasi untuk bertahan hidup, umbuh dan berkembang. (Denison & Mishra: 1995). Jadi, ada tiga aspek di sini. Pertama, kemampuan untuk memahami (perceive) dan menanggapi lingkungan eksternal. Kedua, kemampuan untuk menanggapi para pelanggan internal. Ketiga, kapasitas untuk merestrukturisasi dan melakukan reinstitusionalisasi sejumlah perangkat perilaku dan proses yang memungkinkan adaptasi organisasi,
Dimensi Mission
Pandangan ini menekankan pentingnya misi dan sense of mission, atau suatu pemahaman yang sama dari anggota organisasi mengenai fungsi dan tujuan organisasi (Denison, 1990). Manfaat dari misi adalah (1) memberikan purpose and meaning, serta sekumpulan alasan-alasan non ekonomis mengenai pentingnya kegiatan-kegiatan organisasi (Denison, 1990; Denison & Mishra,1995) sehingga perilaku organisasi memperoleh basis intrinsik atau basis spiritual (Denison, 1990); (2) memberikan kepastian dan pengendalian (clarity and direction), atau menentukan jenis-jenis tindakan yang cocok bagi organisasi dan anggota-anggotanya (Denison, 1990; Denison & Mishra: 1995). Mengutip Wake (1979) dan Davis (1987), Denison mengatakan bahwa sense of mission ini, antara lain membutuhkan penerapan future perfect thinking, sehingga anggota organisasi berupaya memperbaiki keadaan masa kini menyongsong masa depan yang diimpikan.