Oleh: Sofian
Orientasi Negosiasi, Arah yang Menentukan Hasil
Dalam dunia bisnis, negosiasi adalah napas yang menyalurkan peluang. Dari pembelian bahan baku, kontrak pemasok, hingga kemitraan strategis lintas negara—semuanya ditentukan oleh bagaimana pihak-pihak di meja perundingan membaca situasi dan bertindak.
Namun, apa sebenarnya yang mendorong seseorang bersikap keras atau terbuka, curiga atau percaya, saat bernegosiasi? Sebuah studi menarik dari Bradley W. Brooks dan Randall L. Rose, yang dimuat dalam jurnal Industrial Marketing Management (2004) berjudul “A Contextual Model of Negotiation Orientation”, mencoba menjawabnya dengan menawarkan satu konsep kunci: Orientasi Negosiasi (Negotiation Orientation – NO).
Konsep ini menjelaskan bahwa sikap dan strategi seseorang dalam berunding tidak semata-mata ditentukan oleh kepribadian, tetapi oleh konteks situasi yang melingkupinya—dari insentif yang diberikan perusahaan, jenis hubungan yang ingin dibangun, hingga posisi kekuatan antar pihak.
Brooks dan Rose mengelompokkan orientasi negosiasi menjadi dua kutub besar yang sering kali berhadapan secara diametral.
Pertama, orientasi kompetitif, yang berfokus pada keuntungan sepihak. Negosiator dengan orientasi ini memandang meja perundingan sebagai arena “siapa yang menang, siapa yang kalah”. Pendekatan ini melahirkan gaya tawar-menawar distributif, di mana keuntungan satu pihak berarti kerugian pihak lain.
Sebaliknya, orientasi kolaboratif melihat negosiasi sebagai ruang penciptaan nilai bersama. Para negosiator di sisi ini berupaya memperluas “kue” sebelum membaginya, mencari solusi yang memberi manfaat pada kedua pihak—atau yang dikenal dengan pendekatan integratif (win-win).
Kedua pendekatan itu sama-sama sah. Namun, keberhasilan keduanya sangat bergantung pada konteks hubungan bisnis: apakah jangka pendek dan transaksional, atau jangka panjang dan berbasis kepercayaan.
Model yang dikembangkan Brooks dan Rose menegaskan bahwa orientasi negosiasi bukan pilihan yang berdiri sendiri. Ia tumbuh dari tiga sumber utama:
Faktor Personal.
Setiap individu membawa karakter bawaan—misalnya tingkat manipulatif (Machiavellianism) atau orientasi motivasi personal. Faktor ini membentuk gaya dasar seseorang, meski masih bisa dipengaruhi konteks.
Faktor Kontekstual.
Lingkungan langsung sering kali menjadi pengubah arah utama. Harapan hubungan jangka panjang, struktur penghargaan, atau perbedaan kekuatan antara pihak yang berunding bisa menggeser orientasi dari kompetitif ke kolaboratif, atau sebaliknya.
Faktor Organisasional.
Nilai dan kebijakan perusahaan turut menuntun perilaku negosiator. Organisasi yang menekankan kemitraan jangka panjang biasanya mengarahkan karyawannya untuk lebih terbuka dan solutif dalam bernegosiasi.
Temuan Brooks dan Rose memberi pesan yang relevan bagi banyak perusahaan di Indonesia, terutama yang tengah memperluas jejaring bisnis global. Beberapa pelajaran praktis dapat diambil:
Pertama, penting bagi perusahaan untuk menyelaraskan profil karyawan dengan orientasi negosiasi yang diinginkan. Dalam industri yang menuntut kolaborasi, misalnya pemasok jangka panjang atau joint venture, diperlukan individu yang memiliki empati tinggi dan kecenderungan bekerja sama.
Kedua, struktur insentif harus mendukung perilaku yang diharapkan. Tidak realistis meminta tenaga penjual membangun hubungan jangka panjang jika sistem bonus hanya menghargai transaksi cepat.
Ketiga, mengenali ketidakcocokan orientasi antar pihak. Ketika satu pihak berorientasi kolaboratif sementara pihak lain sangat kompetitif, konflik nilai bisa muncul. Dalam kasus seperti ini, strategi penyesuaian perlu dilakukan—misalnya melalui pelatihan atau intervensi kebijakan agar orientasi negosiasi tetap sejalan dengan visi jangka panjang perusahaan.
Negosiasi bukan hanya tentang berbagi keuntungan, tetapi juga tentang membangun makna bersama. Model Negotiation Orientation mengingatkan bahwa keberhasilan bisnis jangka panjang tidak lahir dari kemenangan sesaat, melainkan dari kemampuan melihat kepentingan bersama dalam setiap perundingan.
Dalam dunia yang makin terhubung dan transparan, kemampuan untuk mengelola orientasi negosiasi bukan sekadar keterampilan teknis—melainkan strategi kunci dalam membangun kepercayaan, reputasi, dan keberlanjutan bisnis.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar