Gratisan Musik
Judul Tulisan: Mahasiswa Pertanian dan Petani
Topik: Opini/Mahasiswa
Penulis: Angga Nugraha
Sumber: Ekozone Kampus.19/februari/2013
@2013.catatanmalam
ZAMAN Mesopotamia adalah zaman yang diperkirakan sebagai awal lahirnya kebudayaan, zaman yang dianggap berperan besar dalam merintis tumbuh kembangnya pertanian. Kita coba awali dari kata “Pertanian”. Apa itu pertanian? Apa saja perannya? Dan seberapa besar pentingnya pertanian untuk kehidupan?
Dewasa ini, banyak pemikiran bahwa kerja di pertanian adalah pekerjaan yang kuno. Pekerjaan rendahan dengan hasil sebagai pekerjanya hanya cukup untuk makan. Padahal pertanian adalah sendi utama kehidupan. Tanpa adanya pertanian, kita belum tentu bisa menikmati betapa nikmat dan lezatnya makanan. Harta dan uang berlimpah hanya akan menjadi hiasan tanpa ada pertanian.
Dimulai dari cara bertani yang sederhana hingga menjadi pertanian dengan modernisasi tingkat tinggi. Orang terdahulu entah berapa ratus atau ribu tahun lalu, memulainya dengan menggunakan batu yang dilancipkan untuk memotong tanaman sebagai pangan untuk dimakan. Bercocok tanam dengan cara berpindah-pindah alias nomaden. Berburu untuk mendapatkan daging hewan. Dan akhirnya mereka pun memutuskan dan belajar untuk beternak dan bertani secara menetap. Inilah asal muasal adanya pertanian dan teknologi pertanian seperti sekarang ini.
Ada sebuah pertanyaan menarik tentang pertanian dan seputar kehidupan petani. Kenapa petani di Indonesia umumnya dikategorikan miskin? Ini sangat kontras dengan kondisi alam yang tersedia. Negara dengan salah satu keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kata Koes Plus: tongkat dan batu pun di negeri ini bisa jadi tanaman. Jika benar demikian, kok petaninya tetap saja miskin? Mereka yang bertani, mereka yang menghasilkan pangan untuk kelangsungan hidup orang banyak, tapi untuk mencukupi makan mereka sendiri teramat susah. Kenapa? Dan ini adalah pertanyaan besar yang patut untuk dijawab dan dicari solusinya.
Banyak almamater yang setelah sekian tahun bergelut di bidang pertanian, tetapi mereka enggan berkecimpung untuk menyentuh pertanian. Negeri ini dikatakan kaya dengan alamnya, seharusnya swasembada. Lihat, sekarang bukan menjadi produsen, melainkan asyik dan nyaman menjadi konsumen atau objek-objek pertanian dari negeri orang. Kebijakan pemerintah yang lebih condong pada pengembangan industrialisasi sandang. Seakan kontra sekali dengan kodrat yang telah Tuhan berikan pada negeri ini.
Mengutip sedikit penuturan seorang guru besar dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Moch. Maksum Machfoed, “Kebijakan pemerintah tentang pertanian sangat kontraproduktif.” Kok bisa? Kebijakan pemerintah tentang impor pangan besar-besaran dengan bea masuk yang murah menyebabkan pangan impor membanjiri pasar domestik. Kalau petani tidak produktif, langsung impor dari luar negeri. Sedikit-sedikit ada masalah dengan pertanian, langsung impor. Ya, impor lagi, impor lagi.
Kebijakan inilah yang membuat petani terpuruk, impor yang berlebihan telah merusak tatanan pasar domestik. Seharusnya, bila petani kurang produktif, pemerintah cepat tanggap dengan menyusun kebijakan yang pro petani seperti memberi subsidi pupuk gratis, bibit unggul, peptisida, penyuluhan teknologi pertanian, penyediaan alat-alat pertanian dan lainnya, bukan langsung bertindak dengan cara impor sebagai alternatif solusi.
Sekarang lihat, nasib petani kita seperti berada di persimpangan yang gelap antara jurang dan jalan buntu. Kalau terus bertani mereka tidak akan sejahtera. Bila berhenti bertani dan mencari pekerjaan lain, lapangan pekerjaan pun minim. Artinya, mereka sama saja bunuh diri. Menurut Suprapto seorang Dewan Pakar Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan (Wamti) dalam seminar Penguatan Strategi Ketahanan Pangan Nasional yang diselenggarakan oleh CIDES di Jakarta, “Kebanyakan petani di Indonesia adalah seorang petani penggarap dengan penghasilan sekira Rp150 ribu hingga Rp200 ribu per bulan.”
Oh, sungguh miris sekali ya rasanya bila dibandingkan dengan penghasilan para wakil yang ada di gedung megah sana. Jangankan untuk beli pakaian atau kebutuhan lain, untuk bisa mencukupi kebutuhan makan pun sudah untung dan bersyukur. Lalu? Ya mau gimana lagi? Tinggal apa yang mau kita lakukan untuk memperbaikinya tanpa harus sepenuhnya bergantung pada pemerintah. Dengan mulai mencintai produk pangan dalam negeri, berarti kita sudah turut andil dalam membantu menyejahterakan petani. Toh kalau pertanian hilang, mau makan apa kita nanti.
Dewasa ini, banyak pemikiran bahwa kerja di pertanian adalah pekerjaan yang kuno. Pekerjaan rendahan dengan hasil sebagai pekerjanya hanya cukup untuk makan. Padahal pertanian adalah sendi utama kehidupan. Tanpa adanya pertanian, kita belum tentu bisa menikmati betapa nikmat dan lezatnya makanan. Harta dan uang berlimpah hanya akan menjadi hiasan tanpa ada pertanian.
Dimulai dari cara bertani yang sederhana hingga menjadi pertanian dengan modernisasi tingkat tinggi. Orang terdahulu entah berapa ratus atau ribu tahun lalu, memulainya dengan menggunakan batu yang dilancipkan untuk memotong tanaman sebagai pangan untuk dimakan. Bercocok tanam dengan cara berpindah-pindah alias nomaden. Berburu untuk mendapatkan daging hewan. Dan akhirnya mereka pun memutuskan dan belajar untuk beternak dan bertani secara menetap. Inilah asal muasal adanya pertanian dan teknologi pertanian seperti sekarang ini.
Ada sebuah pertanyaan menarik tentang pertanian dan seputar kehidupan petani. Kenapa petani di Indonesia umumnya dikategorikan miskin? Ini sangat kontras dengan kondisi alam yang tersedia. Negara dengan salah satu keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kata Koes Plus: tongkat dan batu pun di negeri ini bisa jadi tanaman. Jika benar demikian, kok petaninya tetap saja miskin? Mereka yang bertani, mereka yang menghasilkan pangan untuk kelangsungan hidup orang banyak, tapi untuk mencukupi makan mereka sendiri teramat susah. Kenapa? Dan ini adalah pertanyaan besar yang patut untuk dijawab dan dicari solusinya.
Banyak almamater yang setelah sekian tahun bergelut di bidang pertanian, tetapi mereka enggan berkecimpung untuk menyentuh pertanian. Negeri ini dikatakan kaya dengan alamnya, seharusnya swasembada. Lihat, sekarang bukan menjadi produsen, melainkan asyik dan nyaman menjadi konsumen atau objek-objek pertanian dari negeri orang. Kebijakan pemerintah yang lebih condong pada pengembangan industrialisasi sandang. Seakan kontra sekali dengan kodrat yang telah Tuhan berikan pada negeri ini.
Mengutip sedikit penuturan seorang guru besar dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Moch. Maksum Machfoed, “Kebijakan pemerintah tentang pertanian sangat kontraproduktif.” Kok bisa? Kebijakan pemerintah tentang impor pangan besar-besaran dengan bea masuk yang murah menyebabkan pangan impor membanjiri pasar domestik. Kalau petani tidak produktif, langsung impor dari luar negeri. Sedikit-sedikit ada masalah dengan pertanian, langsung impor. Ya, impor lagi, impor lagi.
Kebijakan inilah yang membuat petani terpuruk, impor yang berlebihan telah merusak tatanan pasar domestik. Seharusnya, bila petani kurang produktif, pemerintah cepat tanggap dengan menyusun kebijakan yang pro petani seperti memberi subsidi pupuk gratis, bibit unggul, peptisida, penyuluhan teknologi pertanian, penyediaan alat-alat pertanian dan lainnya, bukan langsung bertindak dengan cara impor sebagai alternatif solusi.
Sekarang lihat, nasib petani kita seperti berada di persimpangan yang gelap antara jurang dan jalan buntu. Kalau terus bertani mereka tidak akan sejahtera. Bila berhenti bertani dan mencari pekerjaan lain, lapangan pekerjaan pun minim. Artinya, mereka sama saja bunuh diri. Menurut Suprapto seorang Dewan Pakar Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan (Wamti) dalam seminar Penguatan Strategi Ketahanan Pangan Nasional yang diselenggarakan oleh CIDES di Jakarta, “Kebanyakan petani di Indonesia adalah seorang petani penggarap dengan penghasilan sekira Rp150 ribu hingga Rp200 ribu per bulan.”
Oh, sungguh miris sekali ya rasanya bila dibandingkan dengan penghasilan para wakil yang ada di gedung megah sana. Jangankan untuk beli pakaian atau kebutuhan lain, untuk bisa mencukupi kebutuhan makan pun sudah untung dan bersyukur. Lalu? Ya mau gimana lagi? Tinggal apa yang mau kita lakukan untuk memperbaikinya tanpa harus sepenuhnya bergantung pada pemerintah. Dengan mulai mencintai produk pangan dalam negeri, berarti kita sudah turut andil dalam membantu menyejahterakan petani. Toh kalau pertanian hilang, mau makan apa kita nanti.
..ii..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar