Rabu, 31 Juli 2013

AL-Qur'an dan Terjemahanya. Edisi Ilmu Pengetahuan (15)



Epilog  (15)
Sebenarnya sampai disini prinsip-prinsip epistemologi Qur’ani telah diuraikan. Namun ada beberapa fakta menyangkut epistemologi yang penting untuk dikemukakan sebagai komplemen (pelengkap) kepadanya. Setidaknya ada dua poin yang akan didiskusikan di sini: pertama, berkenaan dengan “ilmu perolehan” (the Acquired Knowledge) dan kedua, berkenaan dengan “Ilmu Husuli” dan Ilmu Huduri.” Mari kita mulai dengan yang pertama:

Acquired Knowledge dan Revealed Knowledge. Kata “acquire” menurut kamus Webster adalah “memperoleh atau mendapatkan sesuatu melalui usaha atau tindakan sendiri”11 sehingga “acquired knowledge” berarti ilmu yang diperoleh oleh diri sendiri dari luar. Dalam dikusi filsafat yang dimaksud “akal perolehan (al’aql al-mustafȃd)”, yaitu akal yang telah mampu memperoleh ilmu dari akal kesepuluh atau akal aktif yang sering diidentikan dengan malaikat Jibril.” Sedangkan “revealed knowledge” adalah pengetahuan yang “diwahyukan Allah ke dalam hati manusia.” Sekalipun kedua-duanya berasal dari Allah, dalam kasus “the acquired knowledge” manusia diberi peran aktif, sedangkan dalam kasus “the revealed knowledge” manusia bersikap pasif.

Dalam perspektif Al-Qur’an pada prinsipnya ilmu itu berasal dari Allah. Bahkan Allah sendiri mengatakan “Dialah yang mengajarkan dengan pena, mengajarkan manusia ilmu yang belum ia ketehaui” (96:45). Demikian juga, “Dialah yang mengajar Adam (nenek moyang manusia) segala nam (ilmu)” (2:31). Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa baik ilmu perolehan maupun ilmu yang diwahyukan, keduanya berasal dari Allah. Hanya saja, kadang ilmu diberikan secara langsung sebagai hadiah, atau diberikan “ melalui usaha manusia” setelah sebelumnya Allah memberikan petunjuk-petunjuk tentang bagaimana cara memperolehnya. Jenis ilmu yang pertama inilah yang kita sebut ilmuperolehan (the acquired knowledge) dan yang kedua ilmu yang diwahyukan (the revealed knowledge).

Ilmu Perolehan (Acquired Knowledge). Ilmu perolehan, seperti telah disinggung di atas, merupakan ilmu yang diperoleh manusia dengan alat-alat yang telah Allah berikan, yaitu mata, telinga, dan akal (hati rasional), melalui metode eksperimen dan demonstratif ilmu-ilmu apa saja yang bisa kita bangun melalui observasi indera dan penalaran rasional, jawabnya tak pasti, tapi kalau kita mau bercermin pada apa yang dicapai oleh para ilmuwan agung Islam pada masa kejayaannya, maka kita bisa melihat ilmu-ilmu apa saja yang telah dikembangkan dalam karya-karya mereka.

Dalam klasifikasi ilmu yang dibuat oleh Ikhwȃn al-Shfȃ dan Ibn Sina (w.1073), kita bisa mengetahui ilmu-ilmu apa saja yang bisa dihasilkan oleh observasi dan penalaran manusia. Pertama ilmu dibagi ke dalam dua bagian teoritis dan praktis. Ilmu teoritis dibagi ke dalam fisika, matematika dan metafisika.

Berikut ini adalah beberapa disiplin-disiplin ilmiah yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan Muslim dan observasi mereka:
Ø  astrofisika, yang berhubungan dengan langit dan alam semesta,
Ø  meteorologi, yang berhubungan dengan benda-benda yang ada di antara langit dan bumi,
Ø  fisika dasar, yang menyangkut materi, bentuk, ruang, waktu, dan gerak,
Ø  minralogi, yang berkitan dengan benda-benda mineral, seperti batua-batuan dan logam-logaman dan cairan,
Ø  botani, yang berhubungan dengan tumbuh-tumbuhan, baik secara fisiologis, maupun psikologis,
Ø  zoologi, yang berhubungan dengan hewan, baik yang menyangkut klasifikasinya, fisiologi maupun psikologinya,
Ø  anatomi, yang berhubungan dengan tubuh manusia,
Ø  kedokteran, yang berhubungan dengan kesehatan manusia, dan
Ø  psikologi, yang berhubungan dengan jiwa manusia.

Sedangkan melalui “penalaran rasional” manusia telah menghasilkan ilmu-ilmu matematika dan metafisika. Ilmu matematika memiliki beberapa cabang, misalnya
Ø  aritmetika, yang berhubungan dengan angka,
Ø  geometri, yang berhubungan dengan bentuk-bentuk dan ukuran ruang,
Ø  astronomi, yang berhubungan dengan peredaran benda-benda langit,
Ø  musik, yang berhubungan dengan harmoni, dan
Ø  geografi, yang berhubungan dengan permukaan bumi, termasuk gunung-gunung, lembah, danau, laut dan permukiman manusia.

Adapun ilmu metafisika memiliki beberapa cabang, seperti:
Ø  ontologi, yang mempelajari wujud secara umum,
Ø  teologi, yang mempelajari tentang Tuhan,
Ø  kosmologi, yang mempelajarii alam raya dan strukturnya,
Ø  antropologi, yang mempelajari hakikat manusia, dan
Ø  eskatologi, yang mempelajari hari akhir, atau tepatnya mempelajari jiwa setelah bercerai dengan badan.

Semua disiplin ilmu yang tersebut di atas biasanya disebut ilmu-ilmu rasional (al-‘ulūm al-‘aqliyyah), dalam tradisi ilmiah Islam termasuk ke dalam ilmu-ilmu filsafat atau hikmah.12 Dalam pandangan Al-Qur’an, hikmah dipandang berasal (yakni diturunkan) “oleh Allah kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya” (2:269). Hikmah adalah kata lain dari filsafat, dan para filsuf mengakui bahwa untuk memperoleh ilmu filsafat ini mereka harus berusaha keras, dan ini tentunya berbeda dengan para Nabi yang memperoleh ilmunya tanpa usaha, tetapi lebih sebagai hadiah dari Allah Swt.

Ilmu Yang Diwahyukan (Revealed Knowledge). kalau dibagian pertama, kita membicarakan tentang ilmu perolehan yang melibatkan usaha manusia, maka dibagian kedua ini kita akan berbicara tentang ilmu yang diperoleh sebagai “hidayah” dari Allah, yang bisa berupa wahyu (dalam kasus Nabi) atau ilham (dalam kasus para wali). Kalau ilmu jenis pertama diperoleh lewat pengamatan indera dan penalaran akal, maka ilmu jenis kedua (the revealed knowledge) ini diperoleh lewat hati (qalb atau fuȃd), seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Berbicara tentang ilmu yang diwahyukan, yang menandai kenabian seseorang, al-Fȃrabi (w. 950) membagi kenabian menjadi dua kenabian besar (greater prophecy) yang kemudian disebut “nubuwwah” dan kenabian kecil (lesser prophecy) yang mungkin bisa kita sebut “walȃyah“ (kewalian). Bentuk konkret dari jenis kenabian yang pertama adalah “kitab” (dalam konteks Islam adalah Al-Qur’an), yang diturunkan sebagai “hidayah” bagi manusia, dan jenis kenabian yang kedua tentunya adalah “karya-karya agung tasawuf” yang banyak ditemukan dalam khazanah dan warisan Islam.

Adapun ilmu-ilmu yang muncul dari mengkaji, memahami dan merenungkan kitab ini adalah apa yang disebut oleh Ibn Khladun sebagai “ilmu-ilmu naqliyyah” (transmitted sciences) atau yang biasa kita sebut “ilmu-ilmu agama.”

Sebagai “hidayah” maka Al-Qur’an telah menjadi sumber informasi yang luar biasa, terutama bagi disiplin-disiplin ilmu agama, yang menyangkut hukum – ibadah dan mu’amalah), maupun keyakinan-keyakinan teologis, dan juga menyangkut amal-amal batin dan spritualitas. Ddengan demikian Al-Qur’an telah menjadi pusat perhatian, penelitian, pengkajian  dan perenungan dari para sarjana (‘ulama’), dan dari sini muncullah disiplin-disiplin ilmu agama yang seperti disinggung o;eh Ibn Khaldun meliputi bidang-bidang:
Ø  Ilmu-ilmu Al-Qur’an (‘ulum Al-Qur-an), yang meliputi banyak cabang seperti Qirȃat, Asbȃb al-Nuzūl, Makkiyyah dan Madaniyyah, Tafsir, dll.
Ø  Ilmu-ilmu Hadits (‘ulūm al-Hadits), yang meliputi antara lain ilmu dirȃyah dan riwȃyah, studi biografi (‘ilm al-rijȃl), kritik Hadis (jarh wa al-ta’dil), mukhtalaf al-hadits, dll.
Ø  Fiqh dan Ushul Fiqh, yang mengkaji tentang tata-cara beribadah yang dideduksi (istinbȃth) dari ayat-ayat Al-Qur’an, dan Ushul Fiqh, yang membicarakan tentang metode atau prinsip-prinsip pendeduksian tersebut.
Ø  Ilmu Kalam (Teologi Islam), yang merupakan elaborasi rasional terhadap konsep dan rukun-rukun iman, dan
Ø  Tasawuf (‘ilm al-tashawwuf), yang merupakan buah pengalaman mistik/intuitif, dan elaborasi dari konsep ihsȃn.

Yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa sekalipun Al-Qur’an merupakan sumber utama ilmu-ilmu agama (al-‘ulūm al-naqliyyah), tetapi Al-Qur’an juga bisa menjadi sumber informasi yang menakjubkan bagi ilmu-ilmu rasional (al-‘ulum al-‘aqliyyah). Dan itu terjadi karena Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang persoalan-persoalan agama, tetapi juga berbicara dan bahkan memberi penjelasan yang sangat bermanfaat berkenaan dengan fenomena alam. Misalnya saja pernyataan Al-Qur’an bahwasanya “Allah menciptakan segala makhluk hidup dari air” (21:30), tentu merupakan informasi yang penting dalam bidang biologi, bahwa “langit dan bumi tadinya satu, kemudian kami pisahkan keduanya” (21:30), dan bahwa “Allah selalu memperbaharui penciptaan” (55:29), yang penting untuk kajian astrofisika; yang penting bagi fisika, bahwa janin melalui tahap-tahap evolusi yang rumit dalam rahim, dari mulai “saripati tanah, sperma, (nuftah), sesuatu yang melekat (‘alaqah), segumpal daging (mudgah), tulang-belulang (al-izȃm), daging (lahm) dan terakhir bentuk yang lain berupa janin manusia (23:11-14), yang tentunya merupakan penting untuk kajian embriologi.

Dengan ini jelaslah, bahwa Al-Qur’an telah menjadi bukan hanya sumber utama ilmu-ilmu agama tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi ilmu-ilmu non-agama, atau rasional. Banyak buku telah ditulis  mengenai ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan fenomena alam,13 atau yang dikenal dengan istilah “ayat-ayat kauniah” bahkan ada juga kitab tafsir yang khusus membahas tentang ayat-ayat kauniah tadi.

Ilmu-ilmuHusūlì dan ilmu-ilmu Hudūri. Sebagai penutup dari lampiran ini, kita akan membahas sedikit tentang apa yang disebut sebagai ilmu-ilmu husūlì (knowledge by correspondence) dan ilmu-ilmu hudūrì (knowledge by presence). Sebenarnya cikal bakal semua ilmu adalah ilmu hudūrì, yakni ilmu yang berkenaan dengan diri (self-knowledge). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa ilmu hudūrì merupakan pondasi bagi semua ilmu, baik itu ilmu rasional maupun intuitif. Perbedaan yang paling fundamental antara ilmu hudūrì dan ilmu husūlì adalah bahwa yang pertama bersifat langsung (immediate) tanpa sebuah media apa pun, sedangkan ilmu husūlì sangat tergantung pada media, baik itu kata-kata, representasi, maupun simbol.

Pada prinsipnya, boleh dikatakan bahwa semua ilmu yang telah disampaikan dengan kata-kata atau konsep itu adalah ilmu husūlì, tak peduli apakah ia berasal dari pengalaman inderawi, rasional atau intuitif. Contohnya: semua karya tulis para sufi, baik dalam bentuk prosa maupun puisi termasuk pada ilmu husūlì sekalipun ia berasal dari pengalaman batin mereka. Demikian juga semua pengetahuan yang dirasakan secara langsung oleh si subjek, apakah ia pengalaman inderawi atau intuitif, semuanya bisa dikatakan sebagai ilmu hudūrì. Misalnya: rasa sakit yang kita rasakan ketika kita terluka, dan bukan ungkapan rasa sakit yang kita ucapkan pada kawan kita, termasuk ilmu hudūrì, dan tentu saja pengalaman batin para Nabi dan para wali pada saat mengalaminya adalah ilmu hudūrì.

Satu lagi karakteristik dari ilmu hudhuri adalah bahwa pengetahuan yang diperoleh dengan cara hudūrì, tidak bisa terkena kategori “salah” atau “benar.” Kategori salah dan benar hanya berlaku bagi ilmu-ilmu husūlì, karena disini dituntut adanya korespondensi antara yang diungkapkan dan yang dialami. Belum tentu yang diungkapkan bisa benar-benar mewakili apa yang dialami.     jalȃl al-Dìn Rūmì (w. 1273), yang dikenal sebagai penyair cinta paling besar, misalnya pernah berkata:
Seribu satu penjelasan tentang cinta telah aku berikan,
tetapi ketika cinta itu sendiri datang kepadaku,
aku malu dengan semua penjelasan itu.

Sedangkan dalam ilmu hudūrì yang disifati dengan pengetahuan tentang diri (self-knowledge) di mana subjek dan objek adalah sama, kesenjangan itu tidak ditemukan. Di sini apa yang kita ketahui adalah sama dengan adanya, dari sinilah muncul istilah “to know is to be.”

Demikianlah sebuah pengantar yang bisa saya persembahkan kepada Anda. Semoga ini bisa memberikan sedikit informasi yang dibutuhkan oleh para pembaca Budiman, ketika kita mendekati Al-Qur’an dari perspektif keilmuan, sesuai dengan tema terjemahan “Mushfaf al-‘Alim.” Akhirnya kepada Allah-lah kita kembalikan segala urusan, karena Dialah pemilik sejati ilmu pengetahuan.


Panorama Serpong, 8 Maret 2011.
     


......
Pustaka:
Sofyan Abdul Rosyid (2011).Al-Qur'an dan Terjemahanya. Edisi Ilmu Pengetahuan PT Mizan Publishing House. Bandung 



 ........
11 Lihat Webster’s New Word Dictionary of the American Language, Cleaveland and NewYork The Work Publishing Company: 1964; hal 13.
12  Bahwa fisafata diidentifikasi dengan hikmah, bisa kita lihat dalam beberapa buku filsafat yang terkenal, seperti Hikmah al-Isyrȃq, karangan Suhrawardi, al-Hikmah al-Muta’aliyyah, karangan Mullȃ Shadrȃ yang isinya tak lain daripada ajaran-ajaran filsafat Suhrawardi atau Mullȃ Shadrȃ.
13 Salah satunya yang pernah diterbitkan Mizan, Ayat-Ayat Semesta, karangan Dr. Agus Purwanto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar